Percaya Tidak Percaya

11.3K 1.3K 19
                                    

Lintang memandang Binar, kemudian Tasya.

"Kalo kalian lupa, ini kantor," ucapnya dengan intonasi datar.

"Tasya duluan yang mulai, Pak. Dia udah ngomong kurang ajar tentang saya dan Bapak. Makannya, saya nampar dia," sahut Binar menggebu. Dia menunjuk Tasya tanpa menatapnya.

Tasya menepis tangan Binar lumayan keras. Dia mencondongkan badan memandang Lintang, tak acuh pada Binar yang mendelik dongkol. "Tapi seharusnya, kalo saya ngomong kurang ajar, Binar bales saya dengan omongan kurang ajar juga kan, Pak? Bukan dengan tamparan," balas Tasya tak kalah menggebu. Binar jadi ingin menempeleng kepala wanita itu sekarang.

Lintang memusatkan pandangan pada Tasya. "Kamu udah ngomong apa tentang saya dan Binar?"

Tasya terdiam. Wajahnya berubah gugup. Binar pun mengambil alih jawaban wanita itu, "Tasya ngomong kalo saya dibayar berapa "tidur bareng" sama Bapak pas jam makan siang tadi!"

Lintang beralih ke Binar. Menatap datar wanita itu. "Saya nanya Tasya, bukan kamu."

Bibir Binar seketika mencebik ke bawah. Kalau menunggu Tasya menjawab yang ada dia keburu jamuran!

Lintang mencondongkan badan, lalu menarik napas. "Tasya, coba tempatkan dirimu di posisi Binar. Gimana perasaanmu kalo ada orang menghina kamu seperti itu? Menanyakan ke kamu, sudah dibayar berapa berhubungan intim dengan atasan, padahal kamu nggak melakukannya? Saya yakin kamu pasti sakit hati dan nggak terima. Nah, Binar pun juga begitu."

Dari samping, Binar mengamati Tasya yang hanya diam memandang Lintang lama. Sedang merenungi ucapan pria itu? Sepertinya iya. Tapi mengingat Tasya orang yang sulit ditebak, sepertinya tidak. Entahlah mana yang benar.

"Dan kamu, Binar." Mendengar namanya disebut Lintang, Binar praktis menoleh ke pria itu. Lintang melanjutkan, "Setiap olokan itu nggak harus dihadapi dengan kekerasan. Saat dengar Tasya merendahkanmu dengan ucapannya itu, kamu bisa minta dia berhenti. Kalo Tasya nggak mau berhenti, menjauh saja dari dia. Saya jamin Tasya mati kutu karena kamu nggak tersulut amarah karena ucapannya. Dan kamu jadinya nggak dapat masalah dan berakhir di ruangan saya seperti ini."

Ucapan Lintang ada benarnya. Tapi, melakukan apa yang seperti dikatakannya jelas susah saat Binar sudah dikuasai emosi.

Udara dihela Lintang pendek. "Saya harap setelah ini konflik di antara kalian selesai. Saya nggak mau kalian berdua dirugikan konflik terus-menerus." Dia membenarkan letak kacamatanya di hidung. "Tapi, kalian tetap dapat hukuman dari saya. Setelah jam pulang kantor nanti, kalian berdua bersihin pantry. Paham?"

Tasya mengangguk. Tampak terima dengan keputusan Lintang barusan. "Paham, Pak."

"Tasya boleh keluar. Saya mau membicarakan masalah perkerjaan dulu dengan Binar," ucap Lintang mempersilakan Tasya keluar dari ruangannya.

Tasya sempat melirik Binar dengan wajah tak terbaca. Setelah wanita itu keluar, Binar mengarahkan pandangannya pada Lintang yang sibuk merapikan berkas-berkas di meja. Timbul rasa kagum terhadap sikap Lintang barusan dalam menghadapi persilisihan antara dirinya dan Tasya yang bisa dijamin sempat membuat kepala pria itu pening. Menurutnya, Lintang telah mencoba menjadi mediator yang baik. Pria itu juga tidak memberi hukuman berupa SP.

Ekor mata Binar tanpa sengaja mengarah ke tangan kiri Lintang yang lengan kemejanya digulung sampai siku. Ada luka cakaran lumayan panjang bersemayam di sana. Binar menunjuk luka itu dan berucap tidak formal tanpa sadar, "Tanganmu...."

Lintang melirik lukanya tersebut. "Kena cakar pas coba ngelerai kamu sama Tasya."

Praktis, Binar menggelengkan kepala. "Bukan aku lho," diangkat kesepuluh jarinya demi menujukkan pada Lintang bahwa kuku-kukunya tidak panjang. Bahkan terlampau pendek, hingga daging lebih menonjol dari kuku. "Kuku-kukuku pendek semua. Itu pasti hasil cakarannya Tasya."

PerceptionHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin