Di Balik Gerimis

8K 744 84
                                    

Lintang praktis bernapas lega saat Sonya meminta dirinya dan Anin pulang.

Dia lekas berdiri dari tempat duduknya selepas berpamitan pada teman-teman sosialita Sonya. Anin mengamit lengannya yang terbalut tuxedo ketika mereka berjalan menjauhi meja. Arga masih berdiri di dekat pintu masuk ballroom dengan setelan jas hitam. Dia selalu memilih menjaga Anin dari jarak jauh bila acara yang dihadiri terdapat Sonya. Sama seperti Lintang, dia juga malas bertemu wanita paruh baya itu.

Melihat ekspresi masam Lintang, Arga menyeringai. "You look so happy."

Lintang mengangguk kesal. "I've never been this happy."

Anin tertawa kecil. Dia menarik lengan kedua pria itu. "Ayo, pulang. Kalian berdua dijadikan pusat perhatian cewek-cewek lagi," ujarnya dengan wajah pura-pura tak terima.

Lintang memilih duduk di jok belakang mobil, membuat Anin otomatis duduk di samping Arga. Seharusnya, Arga bersyukur mempunyai teman karib yang pengertian seperti dirinya, bukan malah mencoba menikung.

Anin melepas jepit rambutnya, lantas memasukkannya ke dalam handbag. "Kemarin Kak Raka ngajak pacar barunya ke rumah untuk dikenalkan ke keluarga." Raka adalah kakak tunggal Anin. Dia menjabat sebagai CEO di salah satu anak perusahaan yang dibangun oleh ayahnya: Lentera Group.

"Oh, ya? Gimana pendapatmu?" balas Lintang dengan tatapan tertuju ke langit malam di luar jendela mobil yang mendung.

"Aku suka Kak Rosa. Dia punya attitude yang baik. Tapi mama, nggak. Beliau nggak suka karena status sosial Kak Rosa kurang tinggi di matanya."

"Aku tebak papamu juga nggak suka dengan status sosial pacar Raka," sahut Arga dari balik kemudi.

Anin mengangguk-angguk.

Lintang menyengir. "Aku tebak orang tuamu langsung minta Raka segera mengakhiri hubungan."

Kembali, Anin mengangguk-angguk. "Miris, ya? Good attitude terkalahkan oleh status sosial." Dia menoleh ke belakang, pada Lintang. "Oh, iya, Lintang. Besok malam ada acara? Papa ingin ketemu kamu."

Lintang yang semula melepas dasi kupu-kupunya sambil duduk menyandar, langsung menegakkan tubuhnya yang tegang. Dia menaikkan bingkai kacamatanya. "Mau ngomongin apa?"

"Masalah bisnis seperti biasa."

Gestur Lintang yang menandakan kecemasan terlalu mudah ditebak kali ini. Anin memang tersenyum. Namun, ada secercah kegetiran di mata hitamnya. "Kamu khawatir ya, papa bakal maksa kamu cepat menikahi aku?" Pertanyaan yang dikeluarkan dengan lembut tersebut membuat Lintang hanya mampu bergeming. "Papa kan pernah bilang nggak bakal maksa kamu. Beliau paham, kamu mungkin masih ingin menikmati masa muda tanpa diganggu ikatan pernikahan dan anak."

Lintang justru sama sekali tidak keberatan menikah muda, tidak masalah menjadi seorang ayah di usianya sekarang. Namun, dia tentu tidak akan memberitahu semua itu ke Anin maupun ayah wanita itu. Biarlah ayah Anin mengiranya belum siap menikah dan punya anak. Dan semoga Anin juga mengiranya demikian.

Lintang melirik Arga yang masih sibuk mengemudi sebelum tersenyum ke Anin. "Besok aku free. Papamu pengin kami ketemuan di mana? Di rumah seperti biasa?"

Anin mengangguk. "Sekalian makan malam bersama."

"Oke."

-oOo-

Dilaris sepi mendekati jam tutup. Binar akan memanfaatkan hal tersebut untuk menghampiri Arga yang duduk di salah satu meja. Sebenarnya, Binar bisa menemui Arga sejak tadi karena dirinya telah mempekerjakan seorang juru masak yang bisa menangani seluruh urusan dapur. Namun, agaknya kurang profesional bila dirinya mengobrol santai bersama Arga di saat Dilaris sedang banyak pengunjung. Dan Arga sepertinya juga memahami hal tersebut. Dia tampak tidak keberatan sama sekali menunggu Binar sampai wanita itu senggang. Atau mungkin pria itu memang suka berada di sini?

PerceptionWhere stories live. Discover now