Kepanikan

3.6K 473 44
                                    

Binar malas pulang cepat.

Pertengkaran orang tuanya pagi tadi masih membuat suasana hatinya buruk. Belum lagi, Ayah yang kerap menjadi pemicu pertengkaran, hari ini sedang ada di rumah seharian karena libur bekerja. Binar sering bertanya-tanya apa yang membuat Ibu dulu mau menikah dengan Ayah? Dia tidak peduli disebut anak durhaka saat ini, tapi menurutnya Ayah adalah orang yang sangat menyebalkan. Ayah sangat egois. Dan bila keinginannya minta uang tidak diwujudkan Ibu, dia akan mengeluarkan ancaman. Seperti menjual rumah mereka, atau berhutang lagi pada rentenir. Jika sudah begitu, Ibu pasti akan menurutinya. Dia akan menyerahkan uang hasil berjualan nasi pecel pada Ayah.

Binar mencebikkan bibir sedih. Ibu seharusnya selektif dulu. Dia bisa memilih mana pasangan yang tepat untuknya. Sedangkan Binar yang notabene seorang anak, tidak bisa memilih siapa yang cocok menjadi ayah kandungnya.

Mengangkat kepala, Binar menemukan Lintang tengah menatapnya dari seberang taman. Binar mendengus dan memutar badan ke samping. Berharap pemuda itu lekas pergi bila dia mengabaikannya. Namun, Lintang malah menghampiri dan duduk di sebelahnya. Binar tahu hal itu ketika mendengar suara ritsleting ransel yang dibuka dari arah sebelah.

Binar menoleh dengan wajah. "Jangan kamu kira setelah kejadian aku nolongin kamu dari preman sekolah, kita jadi dekat. Aku tetep nggak suka sama kamu! Aku tetep nggak mau berteman sama kamu!"

Raut wajah Lintang seketika berubah kecewa. Namun, dia tetap merogoh ranselnya dengan tenang membuat Binar semakin kesal.

Lintang akhirnya mengeluarkan satu tangannya dari dalam ransel. Barang yang dia cari ternyata adalah sebuah rubik yang bertempelkan stiker-stiker huruf berukuran kecil. Disodorkannya rubik itu pada Binar. "Benda ini bisa bantu aku menghilangkan rasa sedih dan marah. Itu kenapa di saat sedih dan marah, aku sering memainkannya. Mungkin benda ini juga bisa bantu kamu."

Binar melotot. Sebelum dia sempat berucap, Lintang meletakkan rubik itu di pangkuannya. "Aku cuma nggak mau kamu ngerasa sedih." Dia segera berdiri dan beranjak pergi.

Binar terdiam di tempatnya. Ekpresi Lintang yang begitu serius saat mengatakan hal itu membuatnya masih tertegun. Namun, begitu mengingat hidup Lintang yang berbanding terbalik dengan hidupnya, dia langsung mendengus. Dilemparnya rubik ke rerumputan di depan, lalu melangkah pergi. Sebelum sampai gerbang sekolah, dia memutar badan dan kembali ke taman. Mengambil rubik milik Lintang yang masih tergeletak di rerumputan, lantas membawanya pulang.

-oOo-

Binar gelagapan saat Lintang menatap rubik pemberiannya yang bertengger di rak dekat sofa. Dirutukinya diri sendiri yang lupa menaruh rubik itu di dalam kamar usai memainkannya kemarin malam.

"Oh, kamu simpan." Lintang menoleh ke Binar dengan tatapan tak percaya. "Padahal dulu, kamu kelihatan banget mau ngebuang benda itu setelah aku pergi."

Binar mengembuskan napas. Sepertinya dia memang tidak perlu mengelak. "Emang sempat aku buang. Tapi terus, aku ambil lagi." Dia mengamati Lintang yang berjalan ke arah rak, lalu menambahi, "Kamu norak. Benda kayak gitu pake ditempelin stiker-stiker huruf segala."

Lintang mengambil rubik. Menatap stiker-stiker huruf kecil bertuliskan namanya yang menempel di sisi teratas rubik, dia berujar, "Ini ulah mendiang mamaku. Dia emang suka nempelin barang-barang kedua anaknya pakai stiker-stiker huruf biar nggak gampang ketukar."

Setelah itu, Lintang melimbai ke sofa. Binar turut ke sofa, lalu duduk di sebelah pria itu. Lintang meletakkan rubik di atas meja. Giliran dia kini yang menyandarkan kepala pada sofa. "Kalo diingat-ingat, itu terakhir kali kita ketemu sebelum hari kelulusan, ya?"

"Ya," balas Binar. "Dan sejujurnya, benda itu bisa menghilangkan rasa sedih dan marahku waktu itu. Thanks."

Tak ada tanggapan dari Lintang. Setelah itu pun pria itu tetap diam di posisi yang sama. Di dua detik berikut, barulah dia berujar sambil menunjuk rubik di depannya, "Kenapa pada akhirnya benda itu kamu bawa pulang dan simpan? Bukannya tadi kamu bilang dulu sempat kamu buang?"

PerceptionWhere stories live. Discover now