1

425 47 2
                                    

Dirga memijat kepalanya yang berdenyut. Mengerjakan deretan soal di depannya itu memang sangat melelahkan. Soal mata pelajaran ekonomi yang lumayan repot pengerjaannya.

Memastikan tugas sekolahnya selesai, Dirga menutup buku. Ia akan berbaring setelah ini, sebab waktu sudah menunjukkan pukul 22.13 malam. Besok pagi ia ada piket menyapu di kelas, ia bisa kena omel jika ia datang terlambat.

Usai merenggangkan otot-otot ditangannya, dengan langkah pelan Dirga mendekati tempat tidurnya. Ia duduk di tepi tempat tidur sembari melepas kacamatanya dan menaruh di atas nakas. Dirga sudah sangat lelah untuk melakukan aktivitas ringan lainnya disaat kedua matanya sudah hampir terpejam.

Tubuh Dirga sudah sepenuhnya berada di atas tempat tidur. Menarik perlahan selimut tebal yang berada tak jauh dari kakinya dan menutupi tubuhnya hingga sebatas dada. Usai melafalkan doa, kedua mata Dirga perlahan memejam.

PRANG!

Belum masuk hitungan menit kedua mata Dirga tertutup sempurna, pemuda berkulit putih itu dikejutkan dengan benda pecah. Buru-buru ia menyibak selimut dan meraih kembali kacamatanya. Dengan napas terengah, Dirga membuka pintu dan segera berdiri tak jauh dari tangga.

Napas pemuda itu tercekat ketika melihat kedua orang tuanya berdiri saling berhadapan. Sebuah guci besar yang sudah tidak berbentuk lagu berada tepat di bawah kaki Mama. Pecahannya sudah tersebar kemana-mana.

"Kenapa kamu selalu mengambil apapun yang menjadi milikku?!"

"Aku bahkan tidak pernah tahu kemana arah pembicaraanmu ini, Ivana. Apa lagi yang aku ambil darimu?"

"OMONG KOSONG!"

Ivana--Mama Dirga kembali membanting guci kecil membuat Sean--Papa Dirga sampai mundur beberapa langkah dengan wajah terkejut.

"Mama sama Papa nggak capek berantem terus, hah?!"

Dirga melihat kedatangan Yvone--kakak tertuanya lalu disusul oleh Aline--kakak keduanya. Dirga selalu melihat begitu banyak amarah yang tersimpan di kedua mata kakak sulungnya itu. Wajahnya lelah memandangi pertengkaran Ivana dan Sean yang tidak kunjung berakhir.

"Udah dong, Ma, Pa. Kalian nggak capek hidup seperti ini terus? Kalian nggak kasian sama Kak Yvone, aku, sama Dirga?" Aline berkata dengan napas memburu. "Kalian menyiksa kami dengan pertengkaran kalian!"

Ivana berdecih. "Kamu tanya saja sama Papa kamu! Dia begitu licik dan serakah. Dia mengambil semuanya dari Mama selama ini!"

Usai mengatakan itu, Ivana mendorong kasar tubuh Sean, dan Aline serta Yvone menahan tubuh Papa mereka.

Dirga memejamkan kedua matanya. Ia tahu, selama ini kedua orang tuanya tidak pernah akur. Permasalahan yang kompleks membuat hubungan keduanya sulit diperbaiki.

Dan Dirga merasa, salah satu masalah kompleks yang timbul itu berasal darinya. Keberadaannya dan sikap keras kepalanya membuat hubungan kedua orang tuanya semakin buruk saja. Sebab keputusan besar yang pernah Dirga ambil di bangku sekolah menengah pertama membuat Ivana yang semula menaruh banyak harapan besar padanya, langsung menunjukkan kebencian yang begitu besar hingga usianya menginjak tujuh belas tahun ini.

Di bawah sana, Yvonne dan Aline masih berusaha memberitahu Sean untuk bersikap tegas pada Ivana. Sementara Dirga mencengkeram pembatas tangga kuat-kuat. Ia sibuk menyalahkan dirinya sendiri sekarang.

"Papa harus tegas! Bagaimanapun Papa adalah kepala keluarga. Papa dari dulu selalu diperlakukan kasar sama Mama." Yvonne berkata dengan wajah menahan kesal.

"Benar, Pa. Sampai kapan kehidupan rumah ini menjadi sangat buruk?", timpal Aline kemudian.

Dengan kaki yang gemetar, Dirga menuruni anak tangga. Ia akan menghampiri Papa dan kedua saudara perempuannya. "Maaf Pa, Kak Yvonne, Kak Aline."

Things You Never Say To MeWhere stories live. Discover now