18

66 18 6
                                    

Membuang segala perasaan sesak yang melingkupinya, Dirga memilih mengajukan pertanyaan lanjutan pada kisah Sean. "Nenek...bagaimana, Pa?"

"Beliau memang kaget dengan keputusan kakekmu. Tapi, nenek menerima dengan lapang dada soal harta itu. Dan Mamamu, tetap menjadi pihak yang tidak terima soal itu."

Dirga memainkan sedotan di gelas. Ia menatap jus jeruk itu dengan nanar. Masalah orang tuanya ternyata tidak sebatas pada rasa kecewa mamanya akibat sang Papa memilih memeluk keyakinan yang baru.

Tidak sebatas itu.

Segalanya terdengar rumit bagi Dirga sekarang.

"Agar semua harta kakekmu bisa menjadi milik Mamamu lagi, dia harus melaksanakan satu syarat dari kakekmu."

Dirga menelan saliva susah payah. "Syaratnya, menikahi Papa?", tanya Dirga sangsi.

Sean membeku sejenak, lalu mengangguk. "Iya. Dan pada akhirnya Mama dan Papa menikah karena syarat itu." Senyum tipis Sean terbentuk. "Semua orang bisa menebak seperti apa kehidupan dua orang yang menikah karena dijodohkan dan tidak terikat perasaan. Awal-awal pernikahan, baik Mama ataupun Papa bersikap dingin satu sama lain. Hingga waktu terus berjalan, kami berusaha menyingkirkan ego dan berusaha menjalani segalanya dengan baik dan normal."

Sean menatap Dirga. "Kamu pernah dengar kalimat 'cinta bisa muncul karena terbiasa bersama?'. Seperti itulah kehidupan Mama dan Papa setelah kami memutuskan menanggalkan semua rasa benci. Baik Mama dan Papa akhirnya bisa saling mencintai, dan kalian bertiga pun lahir."

Tatapan Sean menoleh pada bangunan gereja yang tidak jauh dari mereka. "Gereja itu dulunya menjadi tempat ibadah Papa bersama kakekmu. Tiap Minggu, kami ke sana, mendengar khotbah, dan berdoa dengan Tuhan dengan hati yang tulus. Di gereja itu pula, kamu dan kedua kakakmu dibaptis."

Dirga tercekat.

Tak hanya Sean dan Kakeknya, ia pun pernah berdoa di sana. Meminta banyak hal pada Tuhan, dan Dirga dulunya juga salah satu remaja yang aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja.

Namun sekarang sudah berbeda. Dirga telah menemukan keyakinan yang memang cocok untuknya. Ketika dulu kedua kali Dirga berayun memasuki gereja, sekarang Dirga melangkah masuk ke dalam rumah ibadahnya yang baru, masjid.

Dirga tersenyum. "Lalu setelah itu? Apa yang terjadi?"

"Papa rasa, semuanya baik-baik saja. Papa dan Mama merasa lengkap semenjak kalian bertiga lahir." Sean pada akhirnya menghela napas. Kata orang, menghela napas seolah menahan atau melepas ribuan kebahagiaan. Sebab cerita selanjutnya adalah bagian di mana Sean mulai melepas kebahagiaannya.

Sean menelan saliva susah payah. Ia berusaha mengatur napas. "Mama dan Papa merawat kalian dengan sebaik mungkin. Hanya ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi di antara kami. Sampai waktu itu kamu duduk di kelas enam SD, Papa diam-diam mempelajari agama selain yang Papa anut semenjak Papa kecil, karena Papa tergugah mendengar ceramah yang dibawakan Fathir. Papa terus mendalaminya, mempelajarinya, dan Papa memutuskan untuk menjadi seorang mualaf."

Dirga mengusap pelan pundak Sean. Tatapannya melembut. Dirga memahami jika segalanya menjadi sulit bagi Sean. "Saat keluarga besar tahu, mereka banyak yang marah, termasuk kakek dan nenekmu. Mamamu bahkan menyebut Papa sebagai seorang pengkhianat. Papa tidak ada niatan untuk menutupi keyakinan baru Papa, tapi segalanya memang terbongkar sebelum Papa menjelaskannya."

Dirga merasa kepala seketika dilanda pusing. Ia tidak sangka jika segalanya akan serumit dan sekompleks ini. Dirga mengusap wajahnya dengan gerak frustasi. "Dirga nggak nyangka beban yang Papa tanggung akan sebanyak ini. Dan karena Dirga juga, Papa semakin dibenci."

Things You Never Say To MeWhere stories live. Discover now