26

69 17 6
                                    

"Maaf yah Dirgantara, gue curhat panjang banget ke lo. Lo pasti bosan dengerin gue, yah?", kata Greha mengambil posisi agak lebih jauh dari Dirga. Gadis itu mengusap air matanya. Ia malu karena menangis di depan Dirga.

Dirga berdehem pelan. "Nggak papa, kok. Tapi ingat, kalau lo bisa nahan diri, usahain nggak bolos. Kita udah kelas dua belas, bentar lagi lulus. Kalau sekarang Mama lo nggak percaya sama lo, jadi aja Asa yang baik. Ini cuma masalah keberanian dan waktu. Kalau lo bolos, Mama lo pasti akan lebih kecewa daripada sekarang. Cukup masalah diskotik itu yang membebani lo, jangan tambah lagi."

Greha menatap Dirga dalam-dalam. Ucapan pemuda yang menjadi pacar pura-puranya itu sering menyentilnya, dan itu adalah sebuah kenyataan. Dirga tak sekadar cenayang, Dirga seolah bisa membaca pikirannya. Sampai-sampai Greha sempat berpikir jika Dirga punya radar mendeteksi isi pikirannya.

"Makasih yah, Dirgantara." Greha berkata tulus. "Lo baik banget. Nggak salah mendiang Dafa yang dikenal sebagai berandal sekolah hormat banget sama lo. Dan gue tau alasannya sekarang. Lo bukan cuma teman yang baik, tapi pacar yang baik."

"Ingat, kita cuma pura-pura," ralat Dirga.

"Iya-iya! Gue tau, kok. Gue yakin, cewek yang sama lo nanti pasti beruntung banget. Dia dapat pelindung sekaligus orang yang bisa mengerti isi hati dia dengan baik." Greha menipiskan bibir. "Boleh nggak sih gue berharap, cewek yang bakalan lo suka itu gue, Dirgantara?" Kalimat itu hanya berakhir tanpa jawaban di dalam pikiran Greha sendiri.

Sebab Dirga sama sekali tidak tahu apa yang baru saja dia pikirkan.

Dirga berdehem. "Soal Mama lo, dia kerja hari apa aja? Dari jam berapa sampai jam berapa?"

"Mama, yah?", gumam Greha. "Kalau kerja sih tergantung kerjaannya, yah. Lazimnya dari Senin-Jumat. Dari pagi sampai jam delapan malam, kecuali ada kerjaan mendadak di kantor, Mama pulang agak telat. Tapi jarang lembur, kok."

Kepala Dirga mengangguk paham. "Jadi Sabtu-Minggu Mama lo di rumah, kan? Jadi gue bisa ke rumah buat ketemu Mama lo."

"Apa?!" Greha memekik. Tanpa sadar gadis itu sudah melompat dari tempat duduknya dan menatap Dirga dengan sorot horor. "Lo ngapain mau ketemu Mama, Dirgantara?!"

"Mau ngobrol," balas Dirga kelewat enteng.

"Ya Allah, kalau lo ke rumah, itu artinya lo cari mati! Mama gue itu keras banget orangnya, Dirgantara. Lo nggak lupa kan soal cerita gue sebelumnya? Kakak perempuan gue dimarahin habis-habisan sama Mama karena kedapatan diboncengin pulang sama temen cowoknya. Kalau lo ke rumah, masalah kita bakalan lebih runyam."

Dirga sadar sepenuhnya jika Greha ketakutan karena perkataannya. Tapi pemuda itu mempertahankan sikap keras kepalanya. "Gue tetap mau ke rumah lo. Jangan cari alasan kalau gue nggak boleh ke sana."

"Ta-tapi, Dirgantara..."

"Lo percaya nggak sama gue?"

Greha tercekat. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri. Tentu saja ia percaya dengan Dirga. "Iya, gue percaya."

"Oke. Kalau lo emang percaya, biarin gue ke rumah lo. Masalah ini juga karena gue. Mama lo udah tau kalau gue pacar lo, dan diri waktu kita bareng udah dilihat sama beliau. Jadi gue punya tanggung jawab buat ngelepasin lo dari salah paham ini."

Jujur, Greha percaya seratus persen dengan Dirga. Masalahnya, ia takut jika Mama tidak akan lagi mengizinkannya bertemu dengan Dirga. Hal itu akan melukai hati Greha. Membayangkan jika Dirga tak lagi dengannya membuat Greha kelimpungan.

"Ya udah. Gue serahin aja semua sama lo. Datang aja hari Sabtu siang, dan lo bisa ngobrol sama Mama."

Dirga mengangguk singkat. "Ayo kita ke kelas masing-masing!", kata Dirga sembari bangkit dari duduknya.

Things You Never Say To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang