11

71 15 2
                                    

Greha menatap satu stoples coklat dengan pita biru itu dengan pandangan berbinar.

Ia tidak sabar memberikannya pada Dirga. Greha memikirkan jenis ekspresi apa yang akan ditampilkan Dirga. Mungkin saja pemuda berkacamata itu akan terkejut, kaget, atau tetap datar.

Yang jelas, Greha tidak berani menjamin jika Dirga tiba-tiba akan tersenyum sembari memperlihatkan deretan giginya.

Serasa itu adalah hal yang mustahil.

"Ya elah, diliatin mulu coklatnya." Rini duduk begitu saja di sebelah Greha.

"Iya, dong! Ini buat seseorang yang spesial. Katanya, coklat bisa membawa kebahagiaan seseorang." Greha menjawab riang. Ia bahkan sempat menjauhkan coklat itu dari jangkauan Rini sebab gadis itu hendak menyentuhnya. Rini sampai berdecak sebab karena menganggap Greha terlalu pelit dan berlebihan.

Di sisi lain, Mike baru saja masuk ke dalam kelas. Secepat kilat Greha langsung memalingkan wajah. Setidaknya jika ia masih belum cukup mampu melawan Mike, setidaknya ia menghindar atau tidak menganggap kehadiran Mike sebagai salah satu hal yang penting.

Sebelum Mike duduk kembali di tempatnya, Greha masih enggan menoleh.

Rini menepuk pelan pundak Greha. "Udah, dia udah duduk di bangkunya."

Barulah Greha kembali menoleh ke depan.

Sementara Mike yang memang duduk tak jauh dari bangku Greha tersenyum tipis. Sepertinya ia memikirkan sesuatu agar gadis itu menyadari keberadaannya. Michael Delovano tidak suka diabaikan.


***


Dafa menundukkan kepalanya saat berhadapan langsung dengan Dirga. Dibandingkan Ikhsan--yang notabene ketua kelas mereka, entah mengapa Dafa seolah jauh lebih malu menatap Dirga. Ia merasa bersalah telah menghilang dan tak berusaha memberitahu Dirga tentang keadaannya selama hampir satu minggu ini.

"Kapan sih lo mau berubah, Daf? Lo yang berkelakuan jelek tapi seisi kelas kena getahnya! Teman sekelas yang sama sekali nggak salah pun jadi sasaran gosip beberapa guru. Apa lo nggak mikirin ini sama sekali?" Ikhsan berkacak pinggang. Ia jengkel dengan tingkah Dafa yang semakin bebal dari hari ke hari.

Dafa mengarahkan pandangannya pada Ikhsan. "Kenapa juga omongan guru-guru tukang gosip lo telan mentah-mentah? Ngapain juga kalian marah kalau gosip itu emang nggak benar?"

"Astaga," geram Ikhsan dengan nada tertahan. "Lo emang nggak ngerti, yah?! Ini soal anak kelas kita, bukan cuma masalah lo doang. Setiap anak kelas kita lewat di depan guru-guru, yang mereka dapat tatapan meremehkan. Emangnya diperlakukan kayak gitu nggak sakit hati?" Ikhsan membalas dengan kedua tangan mengepal.

Dafa berdecih. "Nggak usah sangkut pautin segala hal yang jelek ke gue. Gue sadar kalau gue emang biang masalah. Urus aja diri kalian masing-masing!"

"Lo..."

Dirga langsung menahan tubuh Ikhsan saat hendak meraih kerah seragam Dafa. Seisi kelas menjadi tegang karena perdebatan Dafa dan Ikhsan. Untung saja Dirga menjadi penengah di antara mereka, dan selama ada Dirga mereka merasa aman.

Tangan Dirga terulur menepuk pundak Ikhsan. "Sabar, San. Jangan gedein emosi lo!"

Ikhsan mengusap wajahnya frustasi. "Pusing gue ngadepin teman lo ini. Lama-lama gue bisa tambah frustasi karena masalah dia."

"Lo ngomong seolah-olah gue harus terus mementingkan reputasi dan citra kalian di sekolah ini! Kalian bikin gue muak!" Dafa berkata dengan nada suara meninggi. "Apa-apa selalu gue. Kalian pikir gue juga nggak ada beban dan taunya buat masalah terus?"

Things You Never Say To MeWhere stories live. Discover now