24

63 17 4
                                    

Masalah yang terjadi selama hampir seharian ini dirasakan cukup berat bagi Dirga. Ia harap, ketika sampai di rumah, Dirga bisa menjadi lebih tenang. Segala tekanan bisa hilang dan pikirannya tidak lagi carut marut seperti sebelumnya.

"Oh, ingat pulang juga kamu?"

Langkah Dirga terinterupsi oleh suara Ivana. Ternyata Mamanya sudah pulang dari Paris. Wajahnya yang tanpa ekspresi itu tidak bisa menutupi gurat-gurat lelah di wajahnya.

Dirga mendekat, hendak meraih tangan Ivana. Namun perempuan paruh baya itu lebih dulu mengambil langkah menjauh. "Jangan bersikap kalau saya mengharapkan sikap dengan segala rasa hormat dari kamu!"

Dirga menipiskan bibir. Pandangannya yang teduh terarah pada Ivana yang berdiri dengan melipat kedua tangannya di depan dada. "Dirga senang karena Mama sadar kalau Dirga belum kembali ke rumah. Itu artinya, Mama masih peduli sama Dirga."

Ivana merasa egonya tersentil.

Tanpa banyak kata, Ivana berbalik dan hendak meninggalkan Dirga. Tapi ucapan Dirga selanjutnya membuat Ivana berhenti melangkah. Wanita itu lalu melemparkan tatapan tajam pada anak lelaki bungsunya.

"Dirga mau bicara sama Mama. Soal Papa."

"Untuk apa kamu bicara soal Papa kamu? Apa lagi yang ingin kamu ketahui?"

Seolah tidak puas dengan tanggapan Ivana, Dirga meyakinkan dirinya sendiri. Sudah saatnya Ivana harus sadar, bahwa semua kesalahan yang terjadi tidak serta merta ia limpahkan pada Sean. "Bukan jawaban itu yang Dirga mau, Ma. Dirga cuma mau kesediaan Mama mendengar hal-hal yang seharusnya Mama harus ketahui sejak dulu."

"Bicara apa lagi kamu?! Belum cukup kamu buat hidup Mama hancur, Dirga?"

Ivana akhirnya tidak tahan juga. Ia tetaplah seorang Ibu. Ada perasaan tidak terima jika Dirga masih saja membela Sean atas segala yang telah terjadi. Ivana merasa jadi korban selama ini karena Sean.

Ivana pun merasa ia adalah pihak paling dirugikan dalam pernikahan.

Namun, terlalu banyak kenyataan yang sama sekali belum diungkapkan.

Yvonne dan Aline mematung melihat Ivana dan Dirga kembali memulai perdebatan. Sementara Sean berada di kantor untuk bekerja, dan sepertinya akan lembur. Atmosfir diantara Ivana dan Dirga sungguh sangat mencekam. Selama ini, Yvonne dan Aline berusaha pura-pura tidak terpengaruh dengan pertengkaran mereka, tapi bagaimanapun mereka berusaha, mereka hanya akan semakin tidak baik-baik saja.

Dirga menghembuskan napas panjang. "Dirga mengerti, Ma. Apapun yang terjadi selama ini, Mama tersiksa. Tapi apa Mama tidak melihat, Papa juga sama tersiksanya seperti Mama?"

Ivana mengepalkan kedua tangannya, berusaha menguatkan dan menahan diri.

"Maaf, Ma. Kalau keputusan Dirga menjadi seorang muslim membuat Mama merasa terkhianati. Tapi, bagi Dirga agama bukan warisan, Ma. Ini panggilan hati. Awal-awal menganut agama Dirga yang baru, Dirga takut Mama membenci Dirga. Dan kenyataannya, Mama memang membenci Dirga. Papa pun sama. Salah satu hal yang membuat Mama membenci Papa karena Papa juga menjadi seorang muslim. Dua orang laki-laki yang ada di hidup Mama, membuat Mama merasa terkhianati. Tapi demi Allah, Ma, kami tidak ada niat untuk menyakiti Mama. Mama perempuan penting bagi Dirga dan Papa."

Kepala Dirga mendongak. Kedua matanya menatap langit-langit rumah mewahnya dengan perasaan sesak. Tapi untuk hari ini, Dirga ingin membiarkan semua isi hatinya keluar. Dirga tidak mau jadi pengecut yang kesekian kali karena lebih memilih memendam.

"Waktu Mama dan Kakak-kakak pergi ke Paris, Papa sempat ngajak Dirga ke panti asuhan dan minum jus jeruk yang dekat dengan gereja yang dulu jadi tempat ibadah Papa dan Dirga. Papa menceritakan asal-usulnya ke Dirga tanpa ada yang Papa tutupi. Papa anak panti asuhan, dan kakek mengadopsi Papa. Soal Papa yang anak adopsi dan disayang anggota keluarga, apa itu yang membuat Mama benci Papa? Dirga nggak tau. Dan setelah Mama dan Papa besar di lingkungan yang sama, kalian dijodohkan dan dinikahkan. Harta kekayaan keluarga pun jatuh ke tangan Papa. Apa itu yang membuat Mama membenci Papa? Dirga juga nggak tau. Yang jelas, saat Papa dan Mama saling mencintai, kehidupan kalian menjadi lebih baik. Karena kalau kalian tidak saling cinta dan bahagia, tidak mungkin kami hadir di dunia ini. Keputusan besar yang Papa ambil untuk menjadi seorang mualaf telah menyakiti perasaan Mama, dan aku pun melakukan hal yang sama. Dirga paham, Mama marah dan kecewa dengan keputusan dua orang laki-laki yang sangat Mama cintai dalam hidup Mama. Salah nggak kalau Dirga bilang, Mama nggak pernah benci siapa-siapa?"

Things You Never Say To MeWhere stories live. Discover now