3

146 21 5
                                    

Greha menelan saliva susah payah.

Ia baru membayangkan Mama berceramah padanya dan ketiga saudara perempuannya saat di sekolah tadi, dan hal itu nampaknya telah terealisasikan sekarang. Baru saja Greha menaruh sepatu di raknya, Mama sudah mengomel pada Emira--kakak sulungnya. Baru kali ini Greha melihat Mama mengomel pada Emira.

Selama ini, diantara mereka, Greha adalah yang sering mendapatkan omelan dan teguran. Mengingat tingkah saudara-saudaranya yang masuk dalam kategori normal dan baik-baik saja. Greha merasa, ialah yang kelakuannya tidak beres di keluarganya. Dengan langkah pelan, Greha mendekat dan berusaha mencuri dengar alasan mengapa Mama memarahi Emira.

"Berapa kali sudah Mama bilangin, jangan terlalu dekat sama cowok!"

Emira menunduk dengan wajah lesu. "Tapi Anres cuma anterin aku pulang, Ma. Nggak ngapain-ngapain."

"Mama tidak mau dengar alasan kamu, Emira! Sekarang masuk ke kamar dan kerjakan tugas kampusmu!"

"I-iya Ma," jawab Emira sedikit tergagap. Pada akhirnya Emira bangkit dan menuju kamarnya. Ia sempat menoleh pada Greha sebelum menjauh dari sana.

"Greha," panggil Mama membuat Greha sedikit terlonjak dan langsung menegakkan tubuhnya.

"Iya, Ma?", balas Greha setenang mungkin. Mamanya itu punya tatapan tajam dan mengintimidasi. Sudah jelas jika Mama adalah orang tua yang memang keras pada anak-anaknya.

"Sudah makan?", tanyanya dengan nada dan tatapan lebih melembut dari sebelumnya.

"Belum, Ma."

"Ya sudah, kamu nanti makan siang. Ajak kakak-kakak dan adikmu juga. Mama sudah masak." Mama kemudian mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Mama mau balik ke kantor lagi, ada rapat."

Greha mengangguk seadanya. Setelah punggung Mama terlihat semakin jauh, Greha berlari menaiki anak tangga dan segera menuju ke kamar Emira. Ia penasaran mengapa Mama memarahi Emira tadi.

"Mbak!", panggil Greha.

"Masuk aja, pintunya nggak dikunci."

Tangan Greha segera meraih gagang pintu dan perlahan membukanya. Terlihat sosok Emira menatap layar komputer dihadapannya. "Lo pasti mau nanya soal Mama yang marah tadi, kan?"

Greha menyengir. "Iya, Mbak." Tubuh Greha sudah berada di tepi tempat tidur Emira. "Lo ngelakuin apa sih, Mbak? Gue baru kali ini liat Mama marah ke lo kayak tadi. Kan Mama seringnya ngomel ke gue."

Pada akhirnya Emira tidak mau lagi mengerjakan tugas dari kampusnya hari ini. Mengingat amarah Mama ia jadi tidak bersemangat dalam mengerjakan apapun. "Seperti yang lo dengar dari, Mama marah karena Anres nganterin gue pulang. Anres itu teman sekelas gue."

Greha mengangguk-angguk pelan. "Tapi lo nggak macarin dia kan, Mbak?"

"Ya nggak, lah! Bisa dipasung gue kalau gue jadi pacarnya dia. Sebenarnya dia nganterin gue pulang, soalnya gue nggak nemu angkot atau ojek yang bisa nganterin gue. Dia nawarin tumpangan yaudah, lumayan kan hemat ongkos."

Greha mengerjap. "Terus kenapa lo nggak jelasin, sih? Daripada Mama kayak tadi."

Emira berdecak. "Mau gue jelasin gimana? Dari tadi Mama ngomel mulu. Salah-salah gue malah makin dibentak. Gue baru kelar ngampus malah kena mental pas nyampe rumah."

Hanya ringisan pelan yang terdengar dari Greha. Jika ka berada di posisi Emira, dia juga akan ketakutan setengah mati. Apalagi, tawaran Rini saat di sekolah kembali membayanginya. Baru saja Greha memikirkan cara agar bisa keluar rumah dengan alasan mengerjakan tugas, tapi rencana itu terpaksa bubar jalan sebab tidak akan terealisasikan.

Things You Never Say To MeWhere stories live. Discover now