30

75 14 0
                                    

Dirga berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Hari Sabtu telah tiba, dan sesuai apa yang telah ia katakan kepada Greha, ia akan ke rumah gadis itu malam ini. Walau Dirga gugup setengah mati, tapi Greha berhak mendapatkan kepercayaan Mamanya, dan Mama Greha harus tahu situasi sulit yang dialami Greha akibat ulah Mike.

Melihat tampilannya di cermin, Dirga tiba-tiba meringis begitu saja. Pemuda itu memakai kemeja hitam dengan celana levis berwarna senada, rambut hitamnya ditata sedemikian rupa hingga keningnya sedikit terlihat. Belum lagi, aroma parfum yang menguar dari tubuhnya hasil semprot-semprot sana-sini yang lumayan menyengat. Bisa-bisa orang di rumah Greha bisa sesak napas jika parfum yang Dirga semprotkan ke tubuhnya punya aroma sekuat itu.

Tapi di sisi lain, Dirga sudah merasa lebih baik dengan tampilannya. Tidak jelek-jelek amat katanya. Jadi, Dirga memutuskan tidak melakukan perubahan apapun pada penampilannya. Soal aroma parfum yang cenderung menyengat itu, Dirga yakin lama-lama selamanya akan memudar juga.

Dirga pun sempat merogoh saku celananya dan memperhatikan ponselnya dengan senyum simpul. Ia tentu akan memperlihatkan bukti yang sempat ia abadikan dalam ponselnya kepada Mama Greha.  Mama Greha harus tahu, bahwa Greha pun merasa bersalah dan menderita atas keputusan yang sempat dibuatnya tanpa berpikir panjang.

Kedua kaki panjang Dirga melangkah keluar kamar, sebelum akhirnya ia menemukan sosok Sean yang masih mengenakan setelan kantornya. Papanya itu tersenyum tipis, memandangi penampilan Dirga dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tumben, pikirnya. Dirga terlihat tampan dengan pakaian yang terkesan sederhana tapi juga terlihat sangat pas di tubuhnya.

"Mau kemana?" Itu adalah pertanyaan pertama yang Dirga dengar dari Sean.

Senyum kikuk Dirga terbit. Untuk kali kedua kalinya ia meringis. Pertama soal penampilannya, dan sekarang karena pertanyaan Sean. "Itu Pa ... Mau..."

"Ketemu cewek?", terka Sean, langsung membuat Dirga membulatkan mata.

"Kok Papa tahu?", balas Dirga dengan wajah tidak habis pikir.
"Padahal Papa cuma nebak," kekeh Sean.

Dirga menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Jangan salah paham dulu, Pa. Dia cuma temannya Dirga, kok. Dirga mau ke rumahnya buat bantu dia ngejelasin sesuatu ke Mamanya."

"Sesuatu yang ada kaitannya juga sama kamu?"

Walau enggan mengakui di awal, pada akhirnya Dirga tetap mengangguk. Setitik rasa penasaran yang semula muncul di hati Sean, berubah perlahan-lahan. Senyumnya mengembang, tangannya yang terlihat kokoh tetapi menua itu mengusap pelan kepala Dirga. "Papa bangga kalau kamu menunjukkan sikap tanggung jawabmu. Pergilah, sampaikan salam Papa ke temanmu itu."

Dirga menggulum bibir, lalu mengangguk pelan walau sedikit kaku. "Doain yah Pa, mudah-mudahan Mamanya teman Dirga nggak ngamuk."

"Iya."

Dirga pun meraih tangan Sean dan menciumnya. "Dirga pergi dulu, Pa."

"Hati-hati!", kata Sean kala Dirga beranjak keluar dari kamarnya.

Selepas kepergian Dirga, Sean menatap punggung Dirga yang perlahan menjauh darinya. Sean bangga, sebab Dirga memiliki sikap yang sangat baik selama ini. Padahal, ia pun tahu dengan sangat jelas, jika Dirga punya banyak tekanan akibat konflik yang disebabkan oleh dirinya dan Ivana.

Ketika hendak melangkah pergi dari kamar Dirga, Sean tersentak mendapati kehadiran Ivana yang sudah muncul di hadapannya. Istrinya itu menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya dengan gestur gugup. "Apa kamu punya waktu bicara, sama aku?"

Sean tidak menolak, ia menganggukkan kepalanya.

***

"Siapa kamu?"

Things You Never Say To MeNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ