23

65 16 14
                                    

Bersama jasad Dafa, kebahagiaan yang Dirga toreh bersama Dafa pun ikut terkubur di sana.

Hanya ada tatapan nanar yang Dirga tujukan pada gundukan tanah di depannya. Nisan bertuliskan nama Dafa begitu menyakiti Dirga. Perasaan bersalahnya semakin besar. Harusnya Dirga lebih peduli, harusnya Dirga lebih mawas.

Jika ia bisa lebih memperhatikan Dafa, pasti pemuda itu tidak menjadi korban kejahatan di dunia hitam itu. Seandainya waktu bisa diputar ulang, Dirga akan bersikap lebih tegas. Bila perlu, ia akan memukul Dafa dan berkelahi dengannya. 

Sesi pemakaman berakhir, lalu dilanjutkan pada rangkaian doa agar mendiang Dafa dilapangkan kuburnya. Keluarganya pun sempat menyampaikan beberapa hal terkait mendiang Dafa. Agar orang-orang yang mengenal Dafa semasa hidup bisa memaafkan kesalahan dan kekhilafan yang Dafa perbuat, serta perkara utang-piutang yang jika sekiranya jika Dafa memilikinya, diharapkan untuk segera menyampaikan pada anggota keluarga.

Ibu dan adik perempuan Dafa masih terisak hebat. Bahkan Ibu Dafa enggan melepas petikannya pada nisan sang anak. Adik perempuan Dafa berusaha tegar walau isak kecilnya terdengar, tangan mungilnya mengusap lembut punggung dan pundak sang ibu bergantian. Walau sudah berusaha ikhlas, kehilangan itu bak mimpi buruk yang menghantui dua wanita malang beda usia tersebut.

Dirga menatap satu persatu orang yang mengantar jenazah Dafa berlalu meninggalkan makam. Ada perasaan teriris dalam hati Dirga menyaksikan semua itu. Memang benar, sebaik-baiknya nasihat terbaik adalah kematian. Melihat satu persatu mereka telah berlalu, Dirga menyadari jika suatu saat mereka yang masih hidup akan seperti mendiang Dafa.

Sendirian dan kepergiannya akan ditangisi.

Tapi, apakah jika Dirga tiada, Mama akan menangis juga?

Tidak bisa dicegah air mata Dirga mengalir kembali. Matanya kian memerah karena sebelumnya menahan laju air matanya. Pemuda itu kembali melepas kacamatanya dan menyeka air matanya. 

"Bang Dirga."

Dirga kembali memakai kacamatanya. Di depannya, sudah ada adik Dafa yang menatapnya dengan sorot sendu. Dirga sedikit merendahkan tubuhnya, agar bisa bicara dengan adiknya Dafa. "Kenapa, dek? Kamu lapar? Mau Bang Dirga beliin makan?"

Adik Dafa menggeleng. "Nggak, Bang. Kalau aku makan duluan, nanti Bang Dafa kelaparan, soalnya makanannya aku habisin." Anak perempuan itu kembali berkaca-kaca. Dirga kembali dilanda perasaan kacau. Tak cuma sampai disitu perkataan anak perempuan malang itu. "Selama Bang Dafa di rumah, Bang Dafa nggak pernah makan banyak, Bang Dirga. Bang Dafa selalu nyuruh aku sama Ibu buat makan banyak, biar selalu sehat. Tiap malam, Bang Dafa selalu minum air putih yang banyak biar nggak kelaparan."

Walau berusaha tegar, adik Dafa akhirnya tak tahan lagi. Ia menangis dengan menggigit bibir bawahnya. Tangan Dirga terulur dan membawa gadis berusia sepuluh tahun itu dalam dekapannya. Dirga mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang.

"Bang Dirga masih ada kok buat kamu, Riana. Bang Dirga kan kakaknya Riana juga."

Untuk kali pertama, Riana--nama adik Dafa, memiliki kembali tempat menyandarkan kepala. Ia memang tidak selalu bertemu dengan pemuda yang mendekapnya itu. Tapi, ketika Dafa menceritakan sosok Dirga dengan pandangan berbinar, Riana seolah bisa membayangkan bagaimana baiknya Dirga pada mendiang kakaknya.

"Kamu tau nggak, dek? Di kelas kakak punya teman yang baik banget. Namanya Dirga."

"Iya, Bang? Riana seneng Bang Dafa ada temen. Kan selama ini banyak orang yang sering banget ngejek kakak. Riana nggak suka."

"Hehehe, teman baru kakak itu keliatan lucu, loh. Ke sekolah pake kacamata bulat gitu, kayak anak-anak sekolah ditelevisi, yang sering digangguin geng jahat. Tapi teman kakak ini beda. Dia berani ngelawan."

Things You Never Say To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang