21

69 15 4
                                    

Sesuai dengan rencana di sekolah, Dirga dan Ikhsan sepakat untuk mendatangi rumah Dafa pulang sekolah ini.
Berhubung hanya Dirga yang tahu di mana alamat rumah Dafa, Ikhsan mengikutinya. Mengingat jarak rumah Dafa dengan sekolah lumayan jauh, butuh waktu yang lama selama mereka menempuh perjalanan. Belum lagi di beberapa jalan yang mereka lewati, sempat terjadi kemacetan.

Akhirnya, setelah menempuh waktu kurang lebih empat puluh lima menit, Dirga memberhentikan motornya di depan rumah Dafa. Begitupun Ikhsan yang mengikut di belakangnya. Kedua pemuda itu kompak berjalan ke rumah Dafa, dengan harapan mereka bisa bertemu Dafa dan meminta penjelasannya.

"Assalamualaikum!", kata Dirga sembari mengetuk pintu rumah Dafa. Dirga sebenarnya harap-harap cemas dan takut akan beberapa kemungkinan. Ia bahkan tidak tahu apakah ibu dan adik perempuan Dafa tahu soal pekerjaan Dafa selama ini untuk menafkahi mereka.

Sekitar lima menit Dirga dan Ikhsan harus menunggu di depan rumah Dafa, hingga pintu rumah kayu sederhana itu terbuka dan menampilkan wanita paruh baya dengan mata sembap. Ia terkejut mendapati dua pemuda itu telah berada di depan rumahnya. "Wa'alaikumussalam."

"Mohon maaf sebelumnya Tante kalau kami mengganggu. Saya Dirga, dan di sebelah saya ini Ikhsan. Kamu teman sekelas Dafa."

Ibu Dafa mengerjapkan kedua matanya. "Kamu Dirga?"

"Iya, tante."

"Kalian masuk dulu, kita bicara di dalam," kata Ibu Dafa mempersilakan Dirga dan Ikhsan masuk ke dalam rumah mereka yang sederhana.

Setibanya di dalam rumah, Dirga tidak langsung duduk. Matanya sibuk menjelajah setiap potret yang ada di ruang tamu. Hanya ada Dafa, Ibu, dan Adik perempuannya yang tampak senang dan bahagia. "Daf, gue harap setelah ini lo dan keluarga lo nggak susah lagi, kalian harus bahagia."

"Dir, lo kenapa?", tanya Ikhsan ketika Dirga masih dalam posisi berdiri.

Dirga menggeleng pelan. "Nggak papa." Setelahnya, pemuda berkacamata itu duduk di sebelah Ikhsan. Keduanya menanti Ibu Dafa kembali ke ruang tamu.

Ibu Dafa akhirnya muncul membawa sebuah nampan dengan dua cangkir teh di atasnya. Kemudian wanita paruh baya itu di atas meja, dengan senyum keibuannya yang terpatri wajah wajahnya tampak diselimuti kesedihan. "Silakan diminum, Nak!"

"Terima kasih, Tante. Maaf ngerepotin," balas Dirga. Kini Dirga menatap Ikhsan, memberi kode agar ketua kelasnya itu menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka pada Ibunya Dafa.

"Tante, sekali lagi mohon maaf karena menganggu waktu Tante. Tujuan kami ke sini ingin bertemu dengan Dafa." Ikhsan berkata dengan pelan, lalu setelahnya meminum sedikit teh buatan Ibu Dafa yang asapnya masih mengepul.

Ibu Dafa tampak menghela napas. Garis wajahnya semakin terlihat sedih. "Dafa sudah beberapa hari ini tidak pulang, Nak. Ibu telepon dan kirim pesan tidak dia tanggapi."

Dirga dan Ikhsan kompak melempar pandang. Dirga bahkan bertanya-tanya, ke mana Dafa pergi? Mengapa ia meninggalkan Ibu dan adik perempuannya selama beberapa hari ini?

Dirga berdehem. Berusaha menyingkirkan sesuatu yang mencekat tenggorokannya. "Udah berapa hari Dafa nggak pulang tante? Terakhir tante liat Dafa sama siapa sebelum dia nggak kembali ke rumah?"

Ibu Dafa tampak berpikir. "Kalau tidak salah, Dafa sudah hampir lima hari ini tidak pulang. Terakhir tante lihat temannya datang ke sini. Dia ngajak Dafa pergi nggak tau ke mana. Kalau nggak salah, namanya Anres."

"Anres?", gumam Ikhsan. "Dia satu sekolah kami juga nggak, tante? Soalnya teman sekelas kami nggak ada yang namanya Anres. Siapa tahu dia dari kelas kelas atau jurusan lain di sekolah."

Things You Never Say To MeМесто, где живут истории. Откройте их для себя