2

196 29 7
                                    

"Eh, eh, bakalan ada murid baru, guys!"

"Serius? Cewek atau cowok?"

"Semoga cewek, deh! Populasi cewek cantik di sekolah ini semakin berkurang!"

Dan blablabla!

Gadis dengan rambut hitam panjang itu mencibir ucapan yang dilontarkan teman sekelasnya. Bisa-bisanya sepagi ini mereka sudah membicarakan soal murid baru yang wujudnya saja belum diketahui. Kadang, ekspektasi itu bisa menghancurkan. Harapannya murid baru itu cantik atau tampan, tahu-tahunya yang muncul itu murid yang bikin ekspektasi mereka buyar.

"Malesin banget deh, ah," keluh Greha--si gadis yang sibuk mencibir ucapan teman sekelasnya sejak tadi. Ia rasanya ingin keluar saja dari kelas. Tapi mengingat hari ini adalah hari pertama ia datang bulan, niat itu ia urungkan.

Jadilah Greha menyenderkan punggungnya tepat di dinding kelas. Ia merasa mengantuk, sebab semalam ia menonton televisi sampai jam setengah tiga pagi. Bukan karena dia memang ingin menonton, hal itu ia lakukan karena kedua matanya tidak mau lagi terpejam. Efek insomnia yang dialaminya sejak ia masih duduk di kelas sepuluh.

"Gre, ntar malam clubbing, yok!"

Ajakan itu berasal dari Rini, teman sekelas yang lumayan dekat dengannya.

Tak lama, Nila muncul. Gadis dengan rambut kuncir satu dan kacamata bulatnya itu mencebik. "Gre, jangan mau diajak-ajak minum! Nanti Rini ajarin kamu main sama om-om!", kata Nila dengan wajah penuh harap. Ia tidak mau Greha ikut Rini ke tempat hiburan malam.

Greha merasa lucu sendiri memiliki dua teman baik di kelas itu. Rini dan Nila, gadis dengan dua kepribadian yang berbeda. Rini dengan kepribadiannya yang liar, dan Nila adalah perwujudan anak baik yang patuh pada aturan hidup. Faktanya, Nila dan Rini adalah saudara sepupu yang diibaratkan dua sisi koin yang berbeda.

Rini memicing ke arah Nila. Tak lama tangannya terangkat dan menyentil bibir Nila, sampai gadis itu memekik sakit. "Rini!"

"Makanya tuh mulut filter dulu, napa! Sembarangan banget kalau ngomong. Main sama om-om, cih!", balas Rini dengan wajah tidak terima.

Bibir Nila mencebik. "Ya gimana lagi? Kamu terlalu mencurigakan."

"Udahlah. Soal itu ntar gue kabarin. Gue lagi nggak ada duit," kata Greha. "Lagipula kalau orang rumah tahu gue ke diskotik, auto dicoret dari kartu keluarga gue."

Rini tersenyum miring. "Lo mah nakalnya diam-diam. Liarnya cuma pas lo di luar rumah."

"Mau gimana lagi? Nyokap gue itu overprotective tau, nggak? Kakak gue ada dua, adek gue ada satu, dan kami semua itu cewek. Sering banget dikasih tau sama nyokap buat jaga diri, jaga pergaulan, nggak boleh dekat-dekat cowok, badan nggak boleh diraba-raba sembarangan. Kuping gue panas banget tahu nggak dengerin nasehat berulang-ulang kayak begitu." Greha mengeluh panjang lebar.

Membayangkan wajah Mama menasehatinya di ruang tamu yang suasananya sebelas dua belas dengan ruang sidang, Greha sudah merinding sendiri. Jika kedua kakaknya dinasehati sedemikian rupa maka akan mengangguk patuh, maka berbeda dengan Greha. Dalam hati ia berdoa semua sesi ceramah yang dilakukan Mama akan segera berakhir. Adik bungsunya tidak begitu dibebani oleh ceramah Mama, sebab adik bungsunya masih duduk di bangku kelas empat SD.

Rini dan Nila saling melirik. Ekspresi yang Greha tunjukkan membuat mereka jadi kasihan. Kasihan sebab Greha harus diceramahi tiap hari oleh Mamanya.

"Sabar yah, Gre," kata Nila menepuk pelan pundak Greha.

"Sabar gue, mah," balas Greha dengan suara sedikit lesu.


***




"Bang Dir, udah bertapanya?", tanya Dipa dengan wajah mengejek.

Things You Never Say To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang