6

13 7 0
                                    

Satu jam aku mati gaya. Mau tidur enggan, bergerak pun susah. Akhirnya setelah penantian membosankan, Penyihir Sensian muncul dan membebaskanku. Sudah tahu diri, aku nggak ingin berulah lagi, cukup dipendam saja emosinya.

Penyihir Sensian datang sambil membawa botol kaca berisi cairan bening, aku tak tahu apa itu. Dia berjalan dari tirai yang terbuka sendiri, kemudian duduk di kursi mungil yang terbuat dari kayu, terletak persis di samping kasur tempatku tidur yang dipannya juga terbuat dari bahan yang sama.

"Kita akan memulai proses pengobatan. Tolong jangan ...."

"... banyak bergerak atau aku akan menguncimu lagi," aku menirukan gaya bicara Penyihir Sensian yang suka mengancam. "Sudah tahu, aku nggak akan macam-macam lagi."

"Ya bagus. Benar ya, jangan berulah." Kemudian lelaki itu memindahkan perhatiannya, membuka tutup botol kaca dengan perlahan, penuh hati-hati.

"Itu obat yang perlu kuminum, ya?" Sejujurnya aku sangat bersyukur saat Penyihir Sensian datang sambil membawa ramuan. Kemungkinan besar aku hanya harus disuruh meminumnya, jadi tak akan ada ritual pengobatan aneh-aneh!

"Tidak. Ini untuk dioles. Sana, tidur tengkurap."

Ugh, tetap pakai ritual aneh-aneh. Aku mengikuti saja apa yang disuruh, enggan protes banyak-banyak. Dia menarik kausku sampai sebagian besar punggungku tak tertutup, kemudian mulai mengoleskan cairan bening itu. Teksturnya seperti lendir ....

"Ini lendir buaya."

Punggungku jadi geli sendiri.

Oke, aku mencoba berpikir positif. Mungkin pengobatan ini memang hanya sekadar mengolesi lendir buaya yang menjijikkan ini, tak pakai ritual aneh-aneh. Lagi pula, tadi kan Penyihir Sensian cuma bilang kalau ini obat oles, nggak menyinggung apa pun ten---

"Fafifuwasweswosfyuhfyuh ...."

Astaga, belum selesai menyimpulkan mantranya sudah terdengar. Pasti akan ada ritual aneh-aneh, lebih baik aku mulai memejamkan mata, siapa tahu ketiduran. Setidaknya, aku tak perlu mengalaminya secara langsung, cukup secara tidak sadar saja.

"... Wengwengwenghowhwowhowho ...."

Aku tak jadi tidur karena cekikikan mendengar suara Penyihir Sensian yang berubah menjadi cicitan ketika dia membaca mantra. Penyihir lain yang kutemui juga begini kalau bermantra. Aku sempat mendengar penyihir perpustakaan ketika menyihir buku-buku baru tercetak. Hampir saja aku di-blacklist, kalau saat itu tak berhasil menawan tawa yang siap keluar dengan nyaringnya.

"... Hsihsihsijosjosjosjosweeeerrrrr ...."

Bahasa aneh yang biasa mereka gunakan saat merapal mantra hinggap di benakku sebagai desisan dan komat kamit tak jelas. Entah siapa yang menciptakan bahasa tak jelas itu. Dasar penyihir ....

"... Buuuurrrrrr!"

"PENYIHIR SIALAN!"

Aku bernapas dengan terengah-engah, masih terekam jelas rasa sakit yang terasa di punggungku. Ini bagaikan sedang luka sepunggung, kemudian tak sengaja terguyur jeruk nipis seember. Pedih!

Penyihir Sensian menekuk alis menerima pelototanku, tetapi di sisi lain dia juga ... tersenyum?

"Apa-apaan itu tadi, hah? Diapakan aku?"

"Tunggu, tunggu, kau bilang apa tadi?"

Hah, sok berlagak budek orang tua ini. "Diapakan aku, hah?"

"Bukan, bukan, yang lebih awal. Penyihir ... apa?"

"Sialan?" Aku mengernyit. Apa dia marah kukatai sialan? Mungkinkah aku diusir gara-gara itu?---Ya tidak apa, sih, diusir dari sini sama dengan dibebaskan, kemudian pulang dengan selamat.

Oh, ngomong-ngomong soal pulang, kupikir ibuku akan mulai bertanya-tanya malam nanti kenapa anaknya belum pulang juga, aku perlu mengabari secepatnya.

"Penyihir," ulangnya, "sialan, kan?"

Aku mengangguk. Yang membuatku bingung, tak ada raut kemarahan sama sekali---padahal biasanya kerjaannya marah-marah. Kenapa sekarang dirinya tiba-tiba berseri-seri?

"Kamu sempat baca buku sejarah sains, ya? Dapat di perpustakaan setempat?"

"I ... ya?"

"Woohooo!"

Dalam sekejap si Penyihir Sensian melompat dan hilang dari pandanganku. Aku tak mengerti euforia apa yang dia dapatkan setelah mendengar makian mengenai rasnya sendiri, tapi hey, ritualnya tampaknya belum selesai! Punggungku masih penuh lendir!

Witch's HouseWhere stories live. Discover now