22

17 6 0
                                    

Pemandangan yang kutonton selama perjalanan tak mengenakkan sama sekali. Api berkobar di sepanjang jalan dan rumput, beberapa rumah mulai hancur, dan monster-monster besar mengamuk serta menyerang penyihir yang berusaha menyegel mereka. Suara pekikan monster juga menambah kesuraman suasana.

Aku tiba-tiba memikirkan tentang keluargaku, bagaimana nasib mereka? Apakah mereka sudah dievakuasi dan berlindung dengan tenang?

Karena cemas dengan nasib keluargaku---ditambah ketidakinginan untuk bertarung dengan monster---aku sempat meminta Pak Rio mengajariku cara jadi tim evakuasi saja. Waktu kecil, ketika ada tetanggaku yang menggila dan menyerang sana sini karena belajar sihir terlarang, aku sempat dibantu penyihir untuk dievakuasi ke tempat yang aman, yang kulihat pekerjaan mereka mudah dan tak perlu berurusan dengan bahaya.

Akan tetapi, dia malah marah-marah saat kuajukan ide itu. "Beban tim evakuasi itu terlalu besar untukmu! Selain sihir-sihir yang berurusan dengan manusia itu perlu ilmu dan konsentrasi yang jauh lebih tinggi dari sihir untuk menyerang dan melumpuhkan, menyelamatkan manusia itu juga bukan hal yang main-main."

"Tapi aku tak sedang ma---"

"Penyihir super amatir sepertimu jadi pelumpuh saja, kalau gagal melemahkan paling-paling monsternya cuma menggila lagi, bisa digantikan pelumpuh lain pula. Nggak akan menyeret manusia-manusia itu untuk jadi korban."

Aku hanya bisa menurut, dan mempersiapkan mentalku untuk melawan monster.

"Bersiap, sebentar lagi kita tiba."

Bulu kudukku refleks berdiri mendengar kabar ini. Kuingat-ingat lagi mantra yang diajarkan Pak Rio di bus dan bagaimana cara menggunakannya. Aku tak mau sampai menyusahkan yang lain, apalagi membuat diriku sendiri celaka gara-gara sihir yang tak berhasil.

Mobil mulai melambat, tanganku sudah bersiap untuk membuka pintunya, sesuai arahan Kak Lily tadi---wanita berumur sekitaran awal duapuluhan, yang ikut tergabung dengan kelompok kami---untuk secepatnya turun ketika sudah sampai. Ketika mobil berhenti sempurna, langsung terdengar suara pintu mobil terbuka dari belakang, aku segera mengikuti.

Kami turun di area lapangan kota. Rumput-rumput yang biasa menjadi pijakan telah terbakar, fasilitas seperti tempat duduk sudah teracak-acak, tiang bendera yang biasanya menjulang tinggi sudah patah. Kami bertujuh berlari menuju tempat Ketua dan yang lain melawan monster.

Di depan kami, Ketua Kelompok dan seorang wanita muda yang mulai terlihat kelelahan sedang menyerang tiga monster sekaligus di hadapan mereka dengan api, sementara seorang pria berkacamata berdiri diam di belakang mereka, seperti sedang menunggu. Api yang mereka ciptakan menyebabkan monster-monster berukuran lima kali lipat lebih besar dibanding tubuh penyihir normal itu agak kelabakan, karena beberapa bagian tubuh mereka terbakar. 

Akan tetapi, beberapa saat setelahnya api tersebut mereda dan menghilang, kulit bekas terkena api tadi juga tak menimbulkan bekas apa-apa. Mereka kembali menggila dan mencoba menghantam Ketua. Dia kembali memunculkan apinya, sambil berteriak, "Pelumpuh sudah siap bekerja belum?"

"Pengobatannya belum selesai! Suruh yang baru datang saja!" balas wanita yang duduk agak di ujung, sedang memangku seorang pria yang terlihat kesakitan.

"Hoi, kalian dengar, kan?!" bentak Ketua seraya menoleh pada kami. "Pelumpuh cepat ke sini!"

Aku menoleh ke samping, sepertinya tak ada yang menyahut. "Siapa Pelumpuh lain di sini?" aku inisiatif bertanya. Mereka semua menggeleng, kemudian menyebutkan posisi masing-masing.

Pak Rio mendorongku pelan. "Artinya kamu satu-satunya pelumpuh di sini, maju!"

"Saya segera datang!" Aku masih merasa terkejut ketika menyadari hal itu, tetapi harus tetap mempercepat langkahku sebelum kembali disemprot Ketua.

Tapi ... bagaimana ini, aku baru menguasai sihir pelemah tingkat rendah, dan kurasa tak akan cukup menahan tiga monster tersebut. Terlebih lagi, tak akan ada yang menggantikanku ketika gagal melakukan sihir pelemah, seperti yang di awal dikatakan Pak Rio.

"Cepat segel sebelum apinya padam lagi!" seruan Ketua membuatku yang sudah semakin dekat dengan monsternya langsung mengarahkan telapak tangan tanpa pikir panjang lagi.

"Oslobo som to!"

Dari telapak tanganku, keluar cahaya putih seukuran kepalan tangan yang melaju dengan kecepatan tinggi, mengarah ke monster yang berdiri di sebelah kiri. Berbeda dengan saat latihan yang instruksinya cukup menggunakan sedikit energi, kini kukerahkan semaksimal mungkin. Kuarahkan lagi telapak tanganku ke arah dua monster lainnya.

"Oslobo som to! Oslobo som to!"

Tiga cahaya itu tercipta, mengarah ke masing-masing monster. Setidaknya sihirku sudah berbentuk, jadi tidak terlalu memalukan. Kalau ternyata sihirku terlalu lemah pun, kuharap akan dimaklumi karena diriku jelas masih amatiran.

____

Ouch, tema pemberontakan ikut memberontak dari cerita.

Witch's HouseWhere stories live. Discover now