16

13 8 2
                                    

"Aku minta tolong kali iniiiiii saja. Cabut segel ini dari tanganku." Penyihir Sensian tetap menggeleng, kukuh dengan prinsipnya sejak tadi. "Tolonglah, aku nggak pernah mau jadi penyihir!"

Ini semua gara-gara teman wanita Penyihir Sensian yang tadi kami kunjungi dan segel sialannya! Aku sampai harus menurunkan harga diri, dan merengek di depan Penyihir Sensian.

Sebelum kami berdua pergi, dia tiba-tiba memberikanku segel, berbentuk huruf-huruf sihir kuno yang tercetak dengan warna hitam, melingkar di pergelangan tangan kananku.

"Oh, karena mungkin kita tak akan bertemu lagi dalam waktu dekat, aku jaga-jaga membuatkanmu segel. Fungsinya sebagai tanda pengenal bahwa kamu adalah peserta dari pelatihan penyihir nanti," itu jawabannya ketika kutanya mengenai kegunaan segel ini.

Dan ini lebih kelihatan seperti kerangkeng yang membuktikan bahwa aku adalah aset mereka alih-alih tanda pengenal. Aku semakin merasa pesimis mengenai rencana kaburku, pasti segel ini akan menghalangi nantinya.

"Aku janji akan mengikuti sesi pengobatan tanpa protes, tapi tolong lepas segel ini dan bilang ke temanmu bahwa aku tak akan ikut pelatihan penyihir," pintaku sekali lagi.

Sepertinya mulai kesal diganggu terus dari detik pertama sejak masuk ke rumah, Penyihir Sensian lanjut berjalan sampai ke kamarnya. Jelas kuikuti sambil memohon-mohon, tetapi usahaku terhenti paksa setelah lelaki mungil ini masuk dan mengunci kamarnya.

"AKU MOHON!" pekikku sekali lagi. Tak ada jawaban lagi, mungkin saja Penyihir Sensian telah membuat sihir peredam suara atau apalah yang membuatnya tak lagi mendengar teriakanku. Aku berjalan lemas, hendak kembali ke kamarku dan beristirahat. Sepertinya tidak bisa diselesaikan dengan memelas saja. Aku harus bertindak sendiri.

"Ada apa?" Si lelaki kurus muncul tiba-tiba dari kamar tengah, tidak sedang bersama istrinya. Sepertinya muncul karena mendengar suaraku yang sejak tadi agak keras saat memohon-mohon.

Aku memperlihatkan tangan kananku. "Aku dipaksa jadi penyihir."

"Kamu dipaksa membuat perjanjian dengan iblis?!"

"Ugh. Bukan."

"Dengan roh sihir?"

Aku menggeleng malas.

"Dijadikan makhluk percobaan?!"

"Bukan juga!" Aku bisa jamin kalau lelaki di depanku ini tidak sedang mabuk, tetapi kenapa kelakuannya sama seperti teman-teman Penyihir Sensian yang mabuk waktu itu? "Singkatnya, aku jadi bisa sihir, dan seseorang, mungkin salah satu petinggi sihir, menyuruhku ikut pelatihan penyihir untuk berpartisipasi dalam perang."

"Oh, katakan dari tadi," dia terkekeh, "rumit sekali, bilang saja kamu penyihir yang baru bisa sihir."

"Aku bukan!"

Ya Tuhan, aku ingin pergi saja dari situasi ini. Aku serumah dengan penyihir yang sensian, serta dua orang bekas monster yang agak mengesalkan saat diajak berbicara. Ditambah lagi fakta bahwa tiba-tiba aku tiba-tiba saja bisa sihir, lalu dipaksa menjadi penyihir.

Jadi rindu suasana di rumah yang tenang ... hanya ada ibu yang sibuk sendiri dan aku bebas melakukan apa saja dan ke mana saja. Hanya perlu pulang sebelum ayah di malam hari, agar tidak kena marah.

Ngomong-ngomong soal orang tua, mereka cemas tidak, ya, anaknya belum pulang-pulang dan belum mengabari lagi? Ah, tapi, ibu selalu super santai kalau kubilang menginap di rumah teman. Dulu, aku sering menginap di tempat teman untuk bermain. Ketika teman yang lain takut dan cemas saat hendak meminta izin ke orang tuanya, aku malah dengan mudah mendapatkannya.

"Enak, ya jadi penyihir ... habis ini sudah jelas hendak ke mana, walau masih remaja. Aku dan istriku sekarang kebingungan lagi akan lanjut mencari pekerjaan apa. Pekerjaan yang kami ambil akhir-akhir ini berakhir dengan buruk semua, satu dipecat hari itu juga karena gagal membawa orang, satu lagi belum sejam sudah berhenti karena tiba-tiba kami jadi monster," dia tiba-tiba bercerita.

Aku ikut kasihan lama-lama. Walau mengesalkan, sepertinya mereka berdua bukan orang jahat.

Tapi tiba-tiba aku kepikiran sesuatu. "Kalian bekas peneliti, kan?"

Witch's HouseWhere stories live. Discover now