25

16 6 2
                                    

"Semuanya menghindar dari serangan! Yang lain, jangan lupa amankan tubuh manusianya!" Pak Rio mengambil kendali atas aba-aba karena Ketua masih kesakitan. Aku sekuat tenaga menggerakkan kakiku, menyamakan kecepatan dengan remaja lain yang juga berlari. Orang-orang dewasa menggunakan sihir teleportasi mereka dan tiba di ujung terlebih dahulu, kecuali satu orang.

"Kak Kaca Mata, kenapa tidak ikut berteleportasi?"

"Tenagaku habis setelah sihir penyegelan tadi ...."

Aku semakin merasa bersalah. Berkat gagalnya sihir rantaiku, Ketua sekarang kesakitan, Kak Kaca Mata kehabisan tenaga, dan kubah yang diciptakan para medis sudah tak kuat untuk melindungi. Sementara itu, kita masih harus berhadapan dengan monster yang lebih kuat dari sebelumnya.

"Maafkan aku."

"Aku tak terlalu mempermasalahkan jika harus ikut berlari begini." Aku menatap ke arah Kak Kaca Mata. Herannya, tak ada kesedihan atau penyesalan di wajahnya. Tak sepertiku, wajahnya masih memancarkan keoptimisan. "Kita semua pernah membuat kesalahan, tugas selanjutnya hanyalah menemukan solusi atas kesalahan yang kita perbuat tadi."

"Memangnya bisa? Walau diberi kesempatan lagi, aku tak yakin akan berhasil. Sebenarnya, diriku belum menguasai sihir tingkat tinggi tadi."

"Kalau begitu, gunakan saja apa yang kamu bisa. Sihir memang bervariasi, ada yang tingkatannya rendah seperti yang berhasil kamu gunakan, ada juga yang tingkatannya tinggi. Sihir tingkat tinggi memang tak bisa dikuasai begitu saja dan perlu banyak latihan untuk lancar menggunakannya.

Memang semakin tinggi tingkat sihirnya, energimu akan terpancar dengan semakin efektif. Tapi, pada akhirnya, itu cuma wadah untuk mengeluarkan energimu. Lagipula, aku yakin dengan besar energi yang kaumiliki, kita berdua pasti bisa membungkam monster-monster itu jika sihirnya kena."

"Jadi ... intinya aku tetap bisa melumpuhkan mereka dengan sihir tingkat rendahku?"

Dia mengangguk. "Nanti, keluarkan saja energimu sebesar mungkin dengan sihir yang kamu kuasai. Lebih baik daripada tidak menghasilkan apa-apa saat mencoba menggunakan sihir tingkat tinggi."

"Aku mengerti. Terima kasih!"

Walau tak tahu apakah kesempatanku untuk melumpuhkan mereka lagi masih ada atau tidak, kepercayaan diriku berangsur-angsur mulai pulih kembali karena mulai tahu apa yang harus dilakukan setelah ini.

Di tengah-tengah berlari dari kejaran monster, seseorang tiba-tiba berteriak memberikan aba-aba. "Pelumpuh, penyegel, bersiap!" Suara laki-laki. Aku tahu dengan jelas bahwa ini bukan suara Ketua atau pun Pak Rio. Tapi ... terasa familier.

Ini ... suara Penyihir Sensian?

Bukankah dia sedang terbaring tak sadarkan diri di rumahnya?

Kak Kaca Mata sudah berbalik dan dalam posisi bersiap, mau tak mau aku melakukan hal yang sama. Aku hanya melihat sosok berjubah di depanku, tak terlihat jelas apakah dia benar-benar Penyihir Sensian atau bukan. Tetapi hal itu saat ini tidak penting, prioritas kita adalah membasmi keenam monster di depan.

"Kita eliminasi dengan urutan dari kiri ke kanan," perintah Kak Kaca Mata. Aku mengangguk, memastikan untuk kali ini tak akan ada error yang merusak sinergi formasi kami bertiga.

Sosok berjubah di depan mulai menyerang, menciptakan semacam pedang yang berpendar mengeluarkan cahaya berwarna gelap. Dalam sekali ayunan, pedang itu mampu mengenai keenam monster, membuat mereka berhenti mengejar dan menyerang kami karena api berwarna hitam yang mulai tercipta di tubuh mereka.

"Ayo!"

"Oslobo som to!"

Kuarahkan telapak tanganku ke masing-masing monster sesuai urutan yang tadi diinstruksikan Kak Kaca Mata. Satu per satu dari mereka mulai roboh dan tersungkur, tubuh menyusut dan kembali terlihat seperti manusia normal, hanya saja di beberapa bagian tubuh mereka terdapat luka sayatan. Belum sempat yang di belakang menyelamatkan, tubuh mereka sudah menghilang ditelan bayangan berwarna hitam.

Witch's HouseDonde viven las historias. Descúbrelo ahora