Part 8

274K 16.7K 6.3K
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Jeyra menatap ke keluar jendela, gadis itu bersandar di tembok sambil memandang halaman belakang rumah Davin. Jeyra menghela nafas, Davin pergi saat pagi hari, namun hingga malam seperti ini pria itu belum juga kembali.

"Davin ke mana sih?" gumam Jeyra.

Tepat setelah mengatakan itu, pintu di buka secara kasar, pria dengan balutan jaket jeans beserta celana panjang itu menghampiri Jeyra dengan senyum manis.

"Jey, halo," sapanya hangat.

Jeyra tersentak saat Davin tiba-tiba memeluknya erat, pria itu menenggelamkan kepala Jeyra di dadanya. Davin mengelus punggung Jeyra lembut.

"Gue ninggalin lo kelamaan, jadi kangen," ujar pria itu membuat senyum Jeyra muncul dengan sendirinya.

"Davin, aku mau minta maaf karna semalem--"

"Gue laper, lo belum makan kan?" tanya Davin seraya melepaskan pelukannya, pria itu memandang Jeyra dengan binar bahagia.

Jeyra menggeleng pelan, jelas ia belum makan, sejak pagi ia tidak bisa keluar dari kamar ini karna Davin menguncinya dari luar. Jeyra senang dengan Davin yang menjadi hangat, tapi ia juga bingung, mengapa sikap Davin tiba-tiba berubah seperti ini? Padahal tadi pagi Davin sangat dingin padanya.

"Ayo makan, gue udah beli makanan buat lo," ajak Davin lalu menggenggam tangan Jeyra dan menuntunnya keluar kamar, namun ringisan Jeyra membuat langkah Davin urung.

"Kenapa?" tanya Davin terdengar panik.

Jeyra menggeleng, ia menunduk membuat Davin mengerti, pria itu terkekeh. "Punya lo masih sakit ya? Wajar sih, ini kan yang pertama buat lo."

Tanpa aba-aba Davin mengangkat Jeyra ke gendongannya, Jeyra memekik kaget hingga tangannya refleks bertengger di leher pria itu. Wajah Jeyra memerah, memandang wajah Davin sedekat ini masih bisa membuat jantungnya bergejolak.

Davin tersenyum, pria itu mendekatkan wajahnya dengan Jeyra, kemudian mengecup pelan dahi gadis itu. "Lo cantik Jey, beruntung gue bisa dapetin lo."

Jeyra mengigit bibirnya malu. "Aku yang beruntung bisa kenal kamu," ujarnya.

Davin tersenyum masam. "Salah, ketemu gue itu harusnya lo anggap malapetaka Jey, jangan berharap lebih sama gue."

Jeyra tidak perduli dengan perkataan Davin, ia malah menenggelamkan kepalanya di dada Davin mencari kenyamanan di sana, Davin mulai berjalan, ia membawa Jeyra ke lantai satu, tepatnya ke meja makan.

"Besok gak usah sekolah lagi, lo masih belum bisa jalan kan?" ujar Davin seraya menyodorkan piring berisi pasta yang tadi ia beli.

Jeyra menggeleng pelan. "Aku harus sekolah Vin, aku gak pernah absen selama ini, cukup satu kali aja," ujar Jeyra.

Tatapan Davin menajam, pria itu melepaskan jaketnya hingga memperlihatkan tato menantang di lengan kanannya, tangan itu bergerak mencengkeram dagu Jeyra, Davin mendekatkan wajahnya.

"Gak mau nurut sama gue?" tanya nya datar dengan tatapan menusuk. Jeyra menelan ludahnya kasar, kemudian ia menggeleng.

"O-oke, aku gak sekolah."

Davin kembali tersenyum, ia mengecup pipi kanan Jeyra lalu menjauhkan wajahnya. "Bagus, gue suka cewek penurut."

Jeyra tersenyum malu, gadis itu mulai makan dengan sesekali melirik ke depannya pada Davin yang setia menatapnya dengan senyuman di bibirnya. Jantung Jeyra berdebar keras. Rasanya Jeyra sangat senang.

Sekarang, ia tidak menyesal memberikan mahkotanya karna bayaran yang ia dapat ini.

Davin berdehem, pria itu menyelipkan anak rambut Jeyra. "Lo tau Jey? Gue mutusin semua pacar gue buat lo," ujar Davin dengan suara beratnya.

"Buat aku?" tanya Jeyra menahan gugup.

Davin mengangguk. "Sejujurnya, gue udah tertarik sama lo sejak lama, gue tau lo sering ngikutin gue ke Club, gue juga tau lo selalu merhatiin gue diem-diem."

Jeyra membeku, menatap Davin tidak percaya.

"Gue berusaha gak perduli, karna gue tau lo cewek baik-baik dan lo gak pantes sama gue yang brengsek," pria itu terkekeh. "Tapi ngeliat lo ada di depan pintu rumah gue sebagai tetangga waktu itu, ngebuat rasa tertarik gue semakin besar."

"Dan akhirnya, gue milih buat rusak lo, supaya lo bisa sama gue," tangan besar itu beralih mengelus pipi Jeyra. "Gue ini cowok bajingan Jey, gue beruntung di sukain cewek baik kayak lo."

"Kamu serius?" tanya Jeyra dengan wajah terkejut.

Davin mengangguk. "Tapi gue gak nyesel lakuin hal semalem ke lo."

"Kenapa?"

"Karna gue nemuin cewek tetap yang bakal selalu nemenin gue di ranjang, jadi gue gak perlu susah payah cari cewek-cewek baru di club," ujar Davin menarik sudut bibirnya.

Jeyra membatu. "Kamu cuman anggep aku temen ranjang?"

Davin menggeleng. "Lo lupa ya? Lo itu pacar gue Jeyra, pacar yang gak akan pernah gue lepasin."

"Dari awal gue udah peringatin lo untuk jangan nyesel kan?" ujar Davin. "Dan sekarang udah terlambat untuk nyesel Jey, semua cewek yang gue pacarin itu cuman buat koleksi pelacur aja."

"Dan sekarang lo pacar gue, artinya lo sama aja kayak mereka."

Davin berjalan memutari meja kemudian mengangkat Jeyra ke atas meja, gadis itu masih membeku, menatapnya tidak percaya.

"Jeyra, gue mau makan lo sekarang," bisik Davin dalam.

Jeyra menunduk, hatinya sakit mendengar ucapan Davin tadi, secara tidak langsung Davin mengatainya pelacur, ternyata ... ini maksud pacaran seorang Davin, hanya patner ranjang.

Tapi Jeyra sudah terlanjur mencebur ke dunia Davin ini, ia juga yakin jika jalan keluar akan sangat sulit di temukan. Gadis itu menghela nafas, ia mendongak, menatap Davin yang matanya sudah mengelap, menatap tubuh Jeyra yang hanya di lapisi kaos kebesaran miliknya, tanpa dalaman.

"Davin ... " panggil Jeyra.

"Hm?" jawan Davin pelan, tangannya menelusup ke belakang, memeluk pinggang ramping itu erat.

"Makan aku," ujar Jeyra. Gadis itu tersenyum. "Aku rela jadi pelacur kamu, asal itu bikin aku terus bisa di samping kamu."

Davin terkekeh. "Secinta itu lo sama gue?"

Jeyra mengangguk. "Aku gak pernah jatuh cinta, dan sekalinya jatuh cinta aku jadi gila," ujar Jeyra terkekeh miris.

Davin tersenyum miring. "Bagus, gue suka lo gila, artinya lo bisa terus jadi jalang gue."

Davin memiringkan kepalanya kemudian mencium bibir Jeyra lembut, Jeyra belum biasa, namun ia berusaha membalas ciuman Davin tak kalah lembut. Davin menjauhkan wajah mereka kemudian memandang Jeyra geli.

Tangan lentik Jeyra bergerak mengelus leher belakang Davin. "Tato kamu, sampe leher juga?" tanya Jeyra dengan nafas terengah.

"Baru sadar?" tanya Davin dengan seringaian nakal.

Jeyra mengangguk. "Aku fikir cuman di lengan," ucapnya. Selama ini Jeyra hanya menatap Davin dari jauh, wajar saja jika ia baru menyadari keberadaan tato yang biasa bersembunyi di balik seragam atau jaket itu.

"Ah lupa, semalem lampunya gue matiin, jadi lo gak bisa liat tato gue ya?" tanya Davin.

Pria itu menyeringai, ia mengusap bibir Jeyra lembut. "Kalau gitu mau liat tato gue yang lainnya? Kali ini dalam keadaan terang," ujarnya dengan suara dalam.

Jeyra mengangguk. "Bawa aku ke ranjang kamu."

Dunia Davin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang