Kelopak mata Jeyra perlahan terbuka, menampilkan netra hitam miliknya yang teduh. Yang pertama kali Jeyra lihat setelah membuka mata adalah langit-langit berwarna putih, gadis itu beranjak duduk seraya memegangi kepalanya yang berdenyut.
Sedetik setelahnya, matanya melebar sempurna. Teringat dengan kejadian mengerikan yang ia alami pagi tadi, gadis itu menelan ludahnya kasar saat bayangan pisau penuh darah yang di lempar ke arahnya kembali memasuki ingatannya.
Meski Jeyra tau jika pisau itu tidak akan mengenainya karna jarak pria itu yang cukup jauh, tapi tetap saja ia takut hingga tubuhnya tidak sadarkan diri sangking takutnya. Tangannya berkeringat, padahal AC di ruangan ini menyala, wajahnya pun pasi. Jeyra ... tidak mau menjadi yang selanjutnya setelah Melisa dan Fia.
"Jey ... lo udah sadar?" suara bernada khawatir itu membuat Jeyra menoleh ke pintu yang baru saja terbuka, menampilkan seorang gadis dengan jam tangan merah.
"Sarah?" ujar Jeyra. "Gue kenapa ada di sini?" tanya nya pelan.
Sarah dengan cepat menghampiri Jeyra dan mengecek seluruh tubuh Jeyra dengan teliti, setelah itu ia menghela nafas lega begitu tau jika tidak ada luka sama sekali di tubuh temannya.
"Tadi pagi gue nemuin lo pingsan di koridor deket kantin, terus langsung gue bawa UKS ini," jelas Sarah. Sarah mengubah mimik wajahnya menjadi serius. "Jey, gue ngeliat darah gak jauh dari tempat lo pingsan, lo tau gak itu darah apa?" tanya Sarah penasaran.
Jeyra terdiam, menimang ingin menceritakan pada Sarah atau tidak. Jeyra takut jika ia buka suara maka dirinya akan di incar oleh pria misterius itu. Namun jika di fikir-fikir, Jeyra tidak asing dengan tubuh tinggi dan tegap pria itu. Seketika Jeyra menggeleng, hampir semua pria yang ia kenal memiliki tubuh yang sama tinggi dan tegap. Terutama Davin dan Rafa, dua pria itu memiliki tinggi yang sama.
"Jey, kok bengong? Lo tau gak?"
"E-em," Jeyra mengerjab. "Gue gak tau, gue pingsan karna belum makan, gue gak liat ada darah di sekitar gue," ujar Jeyra bohong, padahal jelas ia tau jika darah itu berasal dari pisau yang di lempar ke arahnya.
Sarah mengangguk mengerti. "Yaudah yuk, kita ke kantin mumpung udah istirahat, lo belum makan kan?" tanya Sarah.
Jeyra tercengang. "I-istirahat? Gue pingsan selama itu?" tanya nya yang Sarah angguki. Jeyra menghela nafas, ia takut darah, dan melihat darah segar berada di pisau itu membuatnya mual hingga jatuh pingsan seperti ini. Tapi Jeyra tidak menyangka jika ia akan pingsan selama lebih dari 4 jam.
"Sar, Fia gimana?" tanya Jeyra pada Sarah yang berjalan di sisinya.
Sarah meringis pelan. "Ya gitu, dia mati. Tapi aneh gak si? Di antara banyaknya tempat di muka bumi, kenapa Fia matinya di sekolah? Yang lebih anehnya kan sekolah kalau malem di kunci, terus Fia masuknya lewat mana? Ngapain juga dia ke sekolah malem-malem?"
"Dari mana lo tau kalau Fia ke sekolahnya malem?"
Sarah mendengus kesal. "Lo sih gak sekolah, jadi ketinggalan berita! Itu polisi sendiri yang bilang ke pihak sekolah waktu mayat Fia selesai di otopsi, katanya Fia udah meninggal sejak 7 jam, sebelum mayatnya di temuin jam 7 pagi."
Tiba-tiba Jeyra ingat jika ia juga bertemu dengan pria berhoodie hitam itu di gerbang sekolah saat tengah malam, tepat sebelum esoknya Sarah memberitahunya jika Fia meninggal. Sudah pasti, jika pria itu pelakunya.
"Terus ... Melisa gimana?"
Sarah mengetuk dagunya seraya berfikir. "Ini jauh lebih aneh lagi."
"Aneh gimana?"
"Keluarganya Melisa mendadak pindah keluar negeri dan nyuruh pihak polisi nutup kasus Melisa, dan berhenti nyelidikin penyebab kematian anaknya dengan alasan udah ikhlas, aneh kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Davin
Romance"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuatnya terjebak pada dunia gelap yang menyedihkan, mengantarnya pada penderitaan tidak berujung. Awaln...