#22 Playlist: Mungkin, Suatu Hari

1.3K 186 45
                                    

Shelma memandangi pantulan dirinya sendiri pada cermin toilet lantai sepuluh Scote. Sebelum masuk ke ruangannya, Shelma memutuskan untuk ke toilet terlebih dahulu.

Menangis semalaman karena Gaga membuat matanya bengkak dan itu jelas saja mengganggu penampilannya hari ini. Belum lagi jika rekan-rekan kantornya akan menanyakan alasan mengapa ia menangis. Shelma juga tidak menemukan alasan yang lain untuk menyangkal pernyataan itu.

Maka dari itu, dengan mencuci wajahnya dan memperbaiki sedikit make up-nya, Shelma harap dapat menutupi matanya yang membengkak, walau hanya sedikit. Shelma sudah cukup salah tingkah sejak kemarin saat anak-anak Arumdalu bertanya kepadanya. Shelma tidak mau hal serupa terjadi di kantor, walau Shelma tahu itu tidak akan mungkin terjadi.

Mungkin, hari Senin kali ini lebih baik daripada senin-senin sebelumnya. Beruntungnya, Shelma menjadi yang pertama datang di ruangan itu karena ia tidak melihat tanda-tanda kehadiran Raras, Ansel, atau bahkan Arjun di kubikel masing-masing. Sembari menghela napasnya, Shelma melangkahkan kakinya masuk dan berjalan menuju kubikel, meletakkan tasnya di sana.

Sudah menjadi suatu kebiasaan bagi Shelma untuk selalu menyeduh kopi atau teh lemon hangat yang disediakan di pantry. Setelah ia meletakkan tasnya, Shelma berjalan menuju pantry dan mulai melakukan kebiasaannya itu.

Sembari mengaduk kopi susu yang baru saja ia seduh, pikiran Shelma melayang pada kemarin sore, saat ia menyuruh Gaga pulang begitu saja. Shelma tidak senang saat Gaga menyatakan bahwa ia menyukai Shelma lebih dari seorang teman. Yang ada di otak Shelma sejak kemarin hanyalah beberapa hal; Gaga hanya bersimpati kepadanya, Gaga tidak benar-benar menyukainya.

Sebab, Shelma hanya ingin meyakinkan dirinya bahwa pemikirannya itu benar adanya. Berasumsi bahwa Gaga tidak benar-benar menyukainya mungkin adalah pilihan yang terbaik, agar Shelma tidak melewati batas yang ia buat sendiri itu.

Setelah selesai mengaduk kopi susu, Shelma bermaksud membuat dua lembar roti bakar—yang memang disediakan Scote di masing-masing pantry divisi kalau-kalau karyawannya tidak sempat sarapan. Ketika tangannya meraih piring yang ada di rak, mata Shelma beradu dengan Saski yang baru saja muncul di pantry. Keduanya bergeming, saling menghindari satu sama lain. Shelma mengalihkan atensinya lebih dulu dan berusaha mengabaikan Saski. Ia tak ingin merusak Senin baiknya minggu ini.

Tapi, mungkin, tidak untuk Saski.

"Gue enggak nyangka kalau Kak Gaga orang yang kayak gitu." ujar Saski sambil mengambil satu gelas bersih untuk membuat kopi.

Shelma menoleh ke arahnya. Jujur saja, Shelma sebenarnya tidak ingin menanggapi ucapan gadis itu. Namun, mulutnya tak mau bekerja sama.

"Maksud lo apa?"

Saski menarik ujung bibirnya untuk tersenyum. "Jangan lo pikir rumor lo dan Kak Gaga pacaran itu enggak kesebar setelah kalian kekunci di atap kemarin." kata Saski, membuat Shelma benar-benar meletakkan pisau plastik untuk mengolesi selai pada roti di piring. "Gue enggak nyangka aja, kalau Kak Gaga bisa se-enggak profesional itu. Ternyata dia nolongin elo, karena elo pacarnya. Enggak nyangka gue."

"Ngomong apa sih lo?" Shelma berdecak. "Gue sama Kak Gaga enggak punya hubungan apa-apa. Kalau lo masih aja denial apa yang lo lakuin ke gue itu salah, berarti sumbernya dari elo, Sas. Mau sampai kapan sih lo berlagak jadi victim?"

Saski meletakkan sendok dengan kasar di atas meja hingga membuat bunyi yang lumayan nyaring. Shelma tahu bagaimana emosi yang ia miliki dan Saski sedang beradu sekarang. Shelma sadar bagaimana ia dan Saski sama-sama menahan itu semua ketika mereka tak sengaja berpas-pasan di kantor seperti sekarang ini.

"Ternyata lo masih aja kayak dulu ya, Shel. Sok polos."

Shelma mengernyitkan dahinya, menatap Saski bingung. "Dulu?"

Playlist : He's Just Not Into YouWhere stories live. Discover now