#23 Playlist: To Find An Answer

1.3K 169 39
                                    

Bogor, September 2012

Shelma di tahun kedua Sekolah Menengah Atas, tidak ingin lagi dianggap remeh seperti saat ia menjalani kelas sepuluh, kelas-kelas di SMP-nya, atau mungkin saat masa SD-nya. Seperti yang Kak Vira selalu sampaikan kepadanya, Shelma harus berubah, agar tidak lagi dipermainkan oleh orang-orang yang hobinya menyuruh saja, tanpa mau mengerjakan sendiri.

Maka, di kelas sebelas, Shelma memutuskan ingin menjadi pribadi yang cuek, punya temen sedikit—mungkin hanya satu bangku saja—atau apa pun itu, yang membuatnya agar tidak menjadi target yang mudah diserang lagi. Namun, seperti yang sudah-sudah, Shelma tetaplah Shelma, yang gampang bersimpati—tidak peduli kepada siapa orangnya dan berakhir dipermainkan lagi.

Yah, kalau bisa, Shelma juga ingin seperti Kak Savira-nya yang keren, yang blak-blakkan dan orang-orang sungkan kepadanya. Tapi tetap saja, cara apa pun yang Shelma lakukan tidak akan bisa membuatnya menjadi seorang Savira. Sebab pada dasarnya, ia dan Savira memang dua pribadi yang berbeda.

"Gue harus ngomong apa lagi sih, Shelma Laila Iswari?!" Shelma harus menjauhkan handphone dari telinganya ketika Savira menaikkan intonasi nada bicaranya. Sekarang, kakaknya itu sedang berkuliah di Jakarta.

Sambil mengusap-ngusap telinganya sendiri, Shelma kembali menempelkan handphone ke telinga. "Iya, enggak usah teriak-teriak. Aku tahu kok, aku juga oon."

"Nah, itu lo tahu." sahut Savira, yang selalu mengubah caranya berbicara kepada Shelma jika sudah gemas dengan tingkah laku adiknya itu. "Jadi, si Cindy kampret itu ngapain lagi hari ini?"

Shelma berdeham, mengerlingkan pandangannya kepada seisi kamar sembari mengingat apa yang Cindy—kakak kelasnya—itu lakukan kepadanya.

Cindy, si kakak kelas yang menyebalkan. Ia pikir, ia sangat berkuasa di sekolah hanya karena keaktifannya dalam pelajaran atau ekstrakurikuler di sekolah. Walau menyebalkan, Shelma dengan berat hati mengatakan bahwa perempuan itu memang pintar. Namun, sifatnya sangat berbanding terbalik dengan otaknya yang pintar.

Cerita Shelma dan Cindy yang menjadikan Shelma sebagai target untuk diganggu bukan berlangsung secara tiba-tiba. Hal itu terjadi karena Shelma, saat menjadi siswa baru langsung melawan Cindy karena membela salah satu siswa yang dihukum secara tidak adil. Setelah beberapa minggu berlalu sejak itu, Shelma seketika menyesal karena pernah membela anak itu. Karena pada akhirnya, anak itu tidak berteman dengan Shelma karena takut diganggu oleh Cindy dan kawan-kawannya.

"Dia cuma nyuruh aku beliin soto ayam aja." jawab Shelma akhirnya.

"Di mana?"

"Di Bu Ulfa?" Shelma menyengir, sudah yakin dengan jawaban yang akan Savira berikan untuknya.

"GILA LO YA, ITU KAN, DEKET RUMAH KITA!"

Tuh, kan. Shelma juga tahu kok, Soto Ayam Bu Ulfa itu dekat dari rumahnya yang berjarak sekitar dua puluh menit untuk ke sekolah. Akibatnya, Shelma terlambat masuk di pelajaran terakhir dan membuatnya harus dimarahi oleh Bu Lesvi, guru matematikanya.

"Iya, aku tahu!" sahut Shelma dengan cepat sebelum Savira kembali memarahinya. "Aku tahu, kok, aku bodoh. Jadi, enggak usah marah-marah lagi ya, Kak. Aku—"

"Shelma, sini sebentar!" Ibu memanggil dari arah luar kamarnya.

"Ibu manggil. Udah dulu ya, dadah, Kak!"

"Hei—" Shelma langsung menutup sambungan teleponnya, meletakkan handphone dan keluar dari kamarn.

Ibu tampak sedang membersihkan piring setelah meletakkan beberapa potong kue bolu yang ia buat tadi pagi. "Antarin ini ke tetangga depan, baru pindah, tuh." kata Ibu sambil mengarahkan dagunya ke rumah di seberang mereka.

Playlist : He's Just Not Into YouWhere stories live. Discover now