#30 Playlist: Janji

1.2K 158 34
                                    

Rumah Arumdalu yang dalam beberapa hari ini sepi, kini telah lengkap dengan semua penghuni—yang masih di kamar masing-masing. Dengan kepulangan Alana beberapa hari lalu, ternyata tetap tidak membuat sepi hilang begitu saja dari rumah itu.

Alana memang penghuni yang paling ceria dan berisik. Dengan kehadiran Alana, rumah yang hanya dihuni oleh lima orang itu bisa terasa seperti sepuluh orang. Namun ketika mendengar kabar duka tentang ayahnya Alana, Shelma tahu bahwa Alana akan kehilangan semangatnya. Tidak ada lagi Alana yang berisik dan heboh karena suatu hal yang bahkan tidak perlu dihebohkan.

Melirik pintu kamarnya yang terbuka sedikit, Shelma menghela napasnya. Suara televisi pun bahkan tidak terdengar di luar sana. Setelah sarapan, Shelma tidak lagi melihat pun mendengar Alana, Iris, atau Naresya di luar. Apalagi Delyn, yang setiap akhir pekan terkadang suka pulang ke rumah orang tuanya. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing—atau berdiam diri di kamar.

Kalau sudah begini, daripada menghabiskan waktu hanya untuk bermalas-malasan, Shelma memutuskan untuk merapikan isi lemarinya. Satu minggu belakangan ini, Shelma sempat tidak bisa berpikir lurus—terlebih sejak ia pulang ke Bogor. Namun, setelah memantapkan hati untuk memulai lembar yang baru di kehidupannya, Shelma merasa bahwa ia harus konsisten dengan apa pun pilihan yang ia buat.

Termasuk, konsisten untuk bersih-bersih. Jangan salah, pilihan ini tentu sudah ada di benaknya sejak hari senin. Shelma ingin produktif dan tidak mau bermalas-malasan. Sebab, banyak yang ia tinggalkan karena sikap uring-uringannya minggu lalu itu.

Akan tetapi, sudah seperti hukum alam, apabila sedang bersih-bersih lalu menemukan sesuatu yang ia simpan sejak lama sekali, maka fokusnya pun akan terbagi. Benda itu tentu saja membuat Shelma terpaku cukup lama. Lantas, sembari memandangi kertas yang telah usang itu, Shelma menyunggingkan senyum.

Tiket gigs Potret; 2012.

Shelma tidak ingat kenapa tiket itu bisa terbawa olehnya ke Jakarta. Sebab seingat Shelma, ia meninggalkan tiket itu di Bogor atau mungkin sudah membuangnya. Shelma meraih tiket yang telah usang dan menguning lalu mengusapnya pelan. Itu adalah kali pertama sekaligus kali terakhir, ia melihat penampilan Potret dalam acara musik.

Bogor, September 2012

Alunan musik di atas panggung serta riuhnya suara penonton terdengar di dalam kafe. Suara Shelma yang bersemangat menyanyikan lirik lagu Salah dari Potret, terdengar tak kalah semangat dari penonton lainnya.

"Selama ini kau masih merasaaa! Aku selalu menantimuuuu! Dua minggu kau tak menghampiriii, karna kau dengan yang laiiin!"

Sambil meneguk minumannya, Fidel memperhatikan Shelma yang tampak sangat bahagia dengan seulas senyum di wajahnya, memamerkan lesung pipinya. Fidel sebenarnya tidak terlalu hafal dengan lagu-lagu dari Potret. Tetapi sejak mengenal Shelma, ia ikut menyukai lagu itu.

"Ayo dong! Kak Fidel juga nyanyi!" seru Shelma menghentikan nyanyiannya.

Fidel menggelengkan kepalanya. "Lihat kamu nyanyi aja, Kakak udah seneng, Shel. Ayo, lanjut lagi."

Shelma tertawa lalu berloncat-loncat dan kembali berteriak menyanyikan lagu Potret—bahkan ketika mereka telah mengganti lagu sekalipun. Fidel hanya tersenyum, lebih senang memandangi Shelma yang bahagia daripada penyanyi di atas panggung.

"Aaaaah, segeeer!" ucap Shelma setelah menyesap es jeruknya yang ia pesan untuk yang kedua kalinya.

"Kamu nyanyinya semangat banget, sih." ujar Fidel.

"Ya gimana ..., ini tuh, Potret!"

Fidel terkekeh pelan. "Kamu suka banget ya?"

"Banget!" balas Shelma. "Makasih, karena Kak Fidel udah bawa aku ke sini. Aku seneng banget, Kak."

Playlist : He's Just Not Into YouWhere stories live. Discover now