7/9/21

16 5 0
                                    

Ketukan sepatu terdengar. Memenuhi suara sepanjang lorong kelas 12.

Pria dengan wajah dingin serta baju acak acakan, matanya yang hitam menatap ke arah depan.

Tajam layaknya pisau.

Kedua tangannya di masukan ke dalam kantung celana. Berjalan pelan ke arah letak kelasnya berada.

12 MIPA 1

Memasuki ruangan tersebut, kelas yang tadinya gaduh senyap seketika. Tak ada yang berani menatap nya sekalipun. Bahkan mereka bernafas saja rasanya amat susah.

Terlalu takut hanya sekedar menimbulkan suara sekecil apapun itu.

Sedangkan orang yang di takuti oleh penghuni kelas hanya mengangkat bahunya acuh, seolah tidak terjadi apapun itu.

Duduk di pojok bagian belakangan adalah surga bagi mereka anak bandel bukan? Begitupun dengan Vano.

Revano Zarendra Erliansyah. Pria tampan dengan wajah bad boy. Kulit putih mulus yang kadang buat insecure kaum hawa. Matanya yang hitam selalu memandang dengan pandangan tajam.

Seakan siapa pun yang menatap nya akan habis saat itu juga. Vano si kulkas berjalan. Panggilan yang tersemat dalam dirinya entah sejak kapan.

Bahkan para sahabat nya pun menyematkan panggilan itu.

MOS memang sedang berjalan, namun dirinya merasa lelah dan memutuskan untuk keluar dari kegiatan sebentar. Setidaknya untuk beristirahat.

Menumpukan kedua tangannya di atas meja, dirinya menenggelamkan wajah nya di antara lipatan itu.

Malam itu, entah bagaimana suara pecahan dan teriakan membuat dirinya terbangun.

Biasa. Hanya itu, namun tetap membuat dirinya terbangun. Menahan amarah yang siap meledak. Dirinya memang sulit mengendalikan amarah.

Sangat sangat sulit.

Bahkan sejauh ini yang dapat menahannya hanyalah Gio, adik kecil nya yang menjabat sebagai sahabat juga.

Kepribadian Gio yang tenang membuat Vano ikut merasakannya.

Jika Vano adalah kulkas berjalan, maka Gio adalah Si soft boy. Mereka ada panggilan masing masing dengan kepribadian yang jelas berbeda.

Vano itu dingin, cuek, pemarah. Gada yang pernah berani dekat dengan dia atau mengusiknya, kecuali Rain. Si humor berjalan.

Kelas nampak sepi ketika tau si pentolan kelas ada di dalam bergabung dengan mereka.

Suhu di ruangan seketika menjadi rendah. Amat dingin padahal cuaca di luar panas.

Tak jarang dari mereka mengeluarkan keringat. Bahkan pasokan oksigen rasanya menipis.

Ya, sesulit itu.

Banyak korban Vano yang di larikan ke rumah sakit, Vano memang bandel namun otak nya tak perlu di ragukan meski masih di bawah Rain dan Gio.

Tak ada guru satupun yang masuk hingga bel istirahat berbunyi. Vano tak berniat sekalipun tuk beranjak.

Sedangkan temannya nampak kabur terbirit-birit, entahlah mereka menjauhkan Vano seperti menjauhkan setan padahal memang Vano sendiri yang tidak ingin berbaur dan sifat nya yang kurang baik.

Vano menegakkan tubuhnya, melihat jam tangan yang ada di tangannya. Dirinya menghela nafas, memilih untuk keluar pergi mencari satu sahabatnya yang merangkap menjadi wakil ketua OSIS.

Sudah pasti banyak Adi kelas yang pria itu gombali. Memang dadar buaya kelas kakap sulit.

Setiap orang yang lewat melirik nya diam diam, sedangkan pria yang di lirik hanya acuh.

Seolah sudah biasa menjadi bahan tontonan.

Tangannya tetap dalam sakunya sedari keluar kelas. Sorot matanya tajam membuat nyali menciut, mengintimidasi setiap orang.

Mendapati sahabatnya di tengah lapangan tengah di kerubungi oleh para para cwek, Vano memilih diam di tempatnya. Memperhatikan sahabatnya yang tengah tebar pesona.

Bahkan tanpa perlu di panggil Pria itu langsung menemui Vano yang sedang berteduh di bawah pohon.

"Weits babang Pano Aww,"

Vano mendelik ke arah pria di sampingnya. Tinggi mereka hampir sama tanpa perlu menunduk Vano sudah dapat melihat lelaki itu.

Pundak nya di rangkul, layaknya sahabat yang sudah amat lama. Dirinya hanya diam membisu, namun tidak dengan pria di samping nya yang sedari tadi mengoceh.

Menebar pesona pada setiap siswi. Pesona mereka memang tidak ada duanya.

Rain yang memang pecicilan dan tidak bisa diam kesana kemari hanya untuk memberikan sapaan pada gadis gadis kecil yang menatapnya malu.

"Kita mau kemana?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari Rain selepas dirinya merasa lelah dan haus.

Vano hanya dia dan sesekali menghela nafas frustasi.

"Gio,"

"Aaaaa Gio. Ayok ke koridor kelas 10!"

Pria itu langsung tancap gas ketika tau tujuan mereka ke kelas Gio. Berlari meninggalkan Vano yang tersenyum amat tipis.

Dirinya tak pernah menyangkan akan di pertemukan dengan Gio dan Rain. Mereka berdua seperti kehidupan Vano.

Sesak ketika mengingat tidak ada selain mereka berdua yang benar benar peduli dengannya.

Bayangkan ketika orang tuanya saling membentak satu sama lain, suara pecahan sana sini.

Tak ayal dirinya memutuskan untuk pergi dari rumah, pergi ke tempat yang damai seorang diri.

Dirinya tersentak, ketika bayangan mengerikan menghampirinya. Mereka kehidupannya, jika mereka pergi lantas dirinya?

1/10/21 (Revisi)Where stories live. Discover now