19/9/21

6 3 0
                                    

Vano keluar dari mobilnya selepas dirinya pulang dari sekolah.
Hari sudah malam namun ketika dirinya sampai di mansion terlihat banyak mobil yang terparkir.

Perasaannya mulai tak enak ketika mendapati mobil milik papahnya. Belum lagi terlihat beberapa bodyguard yang selalu bersama papah nya.

Jujur saja, semenjak perceraian orang tuanya dirinya memilih untuk sendirian di mansion yang besar itu.

Tidak peduli dengan apa yang terjadi kepada kedua orangtuanya.
Yang dirinya tau mereka masih ada hidup itu jauh lebih baik.

Mereka saja tidak peduli dengannya mengapa dirinya harus peduli pada mereka.

Vano berjalan memasuki mansion. Terdengar suara ribut dari arah ruang tamu.

Satu yang dirinya tangkap. Ini mengenai hak ahli waris dan juga hak asuh.

Hak asuh mengenai dirinya. Jelas saja mereka memperebutkan Hak asuh mengingat dirinya adalah hak ahli waris satu-satunya sebagaimana tertulis dalam surat warisan yang di ketik langsung oleh sang Opa serta surat tertulis yang ada.

Vano melihat hampir seluruh keluarganya ada. Bahkan para sepupunya pun ikut meramaikan perdebatan hal ini.

Terlihat pengacara keluarganya kini tengah memijat pelipisnya. Merasa pening ketika keluarga Erliansyah memperdebatkan masalah hak asuh.

Vano melangkah kan kakinya, satu di antara mereka menyadari lantas beranjak dari tempat duduk nya untuk menghampiri Vano yang kini tengah berdiam diri, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ponakan uncle, ya ampun udah gede kamu. Duduk dulu yuk,"

Ucapan dari salah satu paman Vano membuat seluruh keluarga yang tadinya berdebat kini terdiam lalu menatap Vano yang menampilkan raut datarnya.

Vano mendengus mendengar perkataan pamannya.
Memang dirinya mau terus kecil saja begitu hingga dapat di bodoh bodohi oleh mereka.

Vano terduduk di sofa single. Melipat kakinya dengan gaya angkuh. Menatap wajah wajah haus akan harta yang kini menatapnya dnegan senyuman palsu yang menggelikan.

Beberapa sepupunya terlihat menatap nya sinis, namun tidak dengan yang para perempuan.

Gilanya mereka para sepupu perempuan nya, mereka menyukai Vano yang notabennya adalah sepupu mereka.

Memang gila.

Vano mengangkat salah stau alisnya seolah bertanya 'kenapa?'.

Menyadari bahwa setiap manusia yang terduduk di ruangan tersebut menatapnya.

Vano menatap Ferdinand dan Ezrolf bergantian.
Kini dirinya tau seseorang yang datang bersama dengan Ferdinand saat di rumah sakit adalah tangan kanan yang sudah di persiapkan oleh kakeknya untuk dirinya.

Ferdinand menatap tuan mudanya lalu mulai menjelaskan apa yang membuat keluarga Erliansyah berdebat.

"Saya mengumumkan mengenai hak ahli waris secara sah kepada keluarga Erliansyah, tentunya sesuai dengan surat warisan yang di keluarkan oleh mendiang kakek anda serta surat tertulis oleh kakek anda,"

"Sebagaimana tertera di surat bahwa 90% kekayaan keluarga Erliansyah jatuh ke tangan anda. Sedangkan masing masing keluarga Erliansyah mendapatkan 5% di setiap kartu keluarga,"

"10% itu di bagi menjadi dua kartu keluarga, dimana untuk ayah anda serta paman anda tuan,"

"Dari setiap keluarga yang mendapatkan 5% di bagi menjadi 3 kembali, dimana untuk kebutuhan sekunder personal, sekunder istri dan anak lalu kebutuhan primer seluruh anggota rumah yang dimana meliputi keluarga serta para pekerja. 0,5% yang ada di taruh di saham perusahaan keluarga Erliansyah,"

"Hal itu tertera jelas di surat warisan yang ada. Sedangkan untuk kedua orang tua anda, 5% yang di dapat hanya di bagi menjadi dua mengingat orang tua anda sudah bercerai, namun dalam menaruh saham masing masing dari mereka harus menaruh 0,5% ke perusahaan keluarga Erliansyah,"

"Lalu, keributan yang terjadi karna hak asuh anda. Hingga kini anda tidak memberi tahu saya terhadap pilihan anda,"

"Mereka meributkan mengenai hak asuk anda yang belum jelas. Paman dan Tante anda bersih keras untuk mendapatkan hak asuh anda mengingat-"

"Cukup,"

Kalimat yang terpotong lantas membuat Ferdinand mengangguk mengerti lantas memilih diam dengan sesekali menengok ke arah Ezrolf yang diam tenang.

"Saya tidak akan memilih siapa pun, saya akan memilih untuk sendirian dan membuat kartu keluarga sendiri. Silahkan jika kalian ingin menempati mansion ini, saya tidak peduli,"

"VANO!"

"VANO TURUN!"

"VANO PAPAH BELOM SELESAI BICARA! VANO!"

Vano lantas langsung beranjak pergi lalu menaiki tangga menuju kamarnya tanpa memperdulikan panggilan dari keluarganya sendiri. Dirinya akan tinggal di apartemen saja.

Mengenai kartu keluarga, dirinya tak tau bisa atau tidak namun yang pasti dirinya tak mau dimiliki oleh siapapun seperti boneka yang di pergunakan semaunya.

Intinya, bagaimana pun caranya dirinya akan tetep sendiri sekalipun tak bisa memiliki kartu keluarga sendiri. Namun seharusnya bisa karma dirinya sudah 17 tahun, lagipun ada Ferdinand yang siap untuk melakukan setiap prosedur yang ada.

Vano sampai di kamarnya lantas langsung memasuki beberapa lembar baju kedalam koper. Barang barang penting serta seragam dan buku sekolah.

Biarkan sisanya akan dirinya suruh para maid untuk packing dan di pindahkan ke apartemen miliknya.

Vano menatap kamarnya sejenak. Matanya terpaku pada satu foto berisikan 3 orang pria saling merangkul.

Kamarnya adalah tempat ternyaman miliknya. Tempat dimana dirinya menghabiskan waktu. Kesedihan yang ada kebahagiaan. Bahkan senyuman yang jarang di perlihatkan.

Semua terjadi di dalam kamarnya. Tembok Bahakan menjadi saksi seberapa rapuh dirinya. Seberapa banyak darah yang mengalir di kedua tangannya.

Siapa yang sangka bahwa Vano adalah seorang self injury. Sulit untuk dirinya lepas dari kebiasaan tersebut.

Hingga waktu itu tidak ada yang mengetahui tentang hal itu. Hanya dirinya, jelas sebelum tragedi dimana dirinya di bawa ke rumah sakit Karna kecerobohannya sendiri.

Gio dan Rain jelas menentang hebat, namun mereka tak bisa apa apa. Vano adalah orang yang sulit untuk di sadarkan. Keras kepala memang.

Maka dari itu mereka berdua sebisa mungkin menjaga Vano, menjauhkan pria itu dari hal yang memicu membuat Vano melakukan nya lagi.

Vano menghela nafasnya. Lantas membuka satu laci yang terkunci rapat.

Silet dan Diary. Dua benda yang sedari dulu menemuinya.
Silet yang terdapat bercak darah serta sampul diary berwarna hitam dengan beberapa warna merah akibat darah Vano.

Semuanya tersimpan apik dalam sebuah laci yang terkunci.
Menaruhnya kedalam sebuah kotak persegi di ikuti dengan foto bersama sahabatnya dan album foto berisikan dirinya dan sahabat.

Lantas dirinya menutup dan memasuki kedalam tas hitam miliknya.

Vano keluar dari kamarnya sambil menyeret koper miliknya dan menenteng tas yang ada.
Mengunci kamarnya agar orang lain tak dapat memasuki kamarnya. Bahkan maid sekalipun.

Biarlah kamar yang dirinya tempati sedari kecil menjadi sebuah kenangan. Menjadi tempat dimana seorang Vano mengeluarkan keluh kesahnya serta melakukan banyak hal yang merubah mood pria itu.

Cukup sampai disini maka mulailah hari yang baru untuk kedepannya.

1/10/21 (Revisi)Where stories live. Discover now