Early-25

9 1 0
                                    

happyreading
-
-
-
-


Langit biru sangat cerah hari ini, burung berterbangan di sana menembus awan putih yang mengagumkan, rerumputan masih sedikit basah karena embun, kesan segar terpanjang disetiap hamparan tanah taman, Sastra akan bertemu Alunan hari ini, mereka akan bermain di taman komplek.

Sastra si perfeksionis, semua harus tepat, cepat, dan tertahap. Terkadang Sastra kesal dengan Alunan yang lama, jarang tepat waktu, jika mereka berjanjian jam 09.00 maka menurut Sastra di jam itu sudah harus sampai, tapi tidak bagi Alunan, saat semua sudah sampai di jam yang seharusnya, Alunan masih mengkhayal di kamarnya dengan tenang damai tanpa beban.

"Kebiasaan"jengkel Sastra

Alunan hanya terkekeh kecil "Ya maaf, aku telat gara-gara ini"tangan bergerak mengangkat Paper bag yang di genggamannya.

"Nah, spesial"serahnya kepada Sastra.

Sastra membuka Paper bag pemberian Alunan, matanya berbinar seketika saat melihat isi di dalamnya, sebuah kanvas, dan alat-alat lukis berserta catnya, Sastra senang melukis walaupun dia belum terlalu mahir, namun dia sangat mengekspresikan hobinya, dinding kamarnya pun penuh lukisan yang dia buat.

"Makasih Alunan, jadi sayang"ucapnya menerkah.

Alunan bergidik ngeri mendengar ucapan Sastra, dirinya hanya mengangguk kepala sembari tersenyum.

Sastra adalah sosok yang sangat menghargai apapun, Sastra yang selalu ada untuk Alunan, selalu menjadi tumpuan Alunan saat rapuh. Namun Alunan tak bisa menjadi seperti itu, Sastra pun tak pernah menuntut Alunan untuk menjadi seperti ini ataupun itu, Selalu jadi diri sendiri lebih baik dari pada menjadi orang lain yang entah bagaimana hidupnya, dan Sastra selalu berbicara seperti itu jika Alunan membandingkan dirinya sendiri.

-
-

Sastra dan Alunan sibuk dengan kanvasnya masing-masing, menggoreskan berbagai warna di atas permukaan putih itu, hingga membuatnya terlihat indah dipandang, Alunan sama sekali tak pandai melukis ataupun menggambar, dia hanya mengikuti keinginan di otaknya untuk memoles di sana dan disini, walaupun entah akan menjadi apa nantinya.

"Ini bikin pusing juga ya"celetuk Alunan

"Ikutin khayalan kamu aja"jawab Sastra

Alunan mendengus sebal, dan mulai kembali fokus pada karyanya.

"Kemaren pulang bareng Sakala?"tanya Alunan

"Hujan-hujanan gitu"

"Terus di marah ga?"

"Kemarenya bareng Utara, terus kemaren-ren bareng Sakala, besok bareng Pak udin kayaknya"sindir Alunan

"Sirik ya?"ledek Sastra

"Ih, engga ya, gini nih, aku tanya bener-bener. Kamu milih yang mana, Sakala atau Utara?"

"Engga ada"enteng Sastra

"Astaga, kasian ya mereka di kasih harapan doang, di seriusin engga"

"Jangan mulai deh Alunan, inget kita masih kecil"seru Sastra garang

Alunan terkekeh kecil"Iya kita masih kecil, tapi sukanya Sakala sama Utara ga main-main ke kamu Sastra"geram Alunan

Sastra berhenti menggerakan tangannya di kanvas dan kemudia menatap Alunan.

"Mendapatkan yang belum pasti jadi takdir tuh cuman buat penyesalan, sampai dimana luka hati tercipta dan tak terlupa, semua itu ga pasti Alunan, dan kita ga bisa merubah apapun yang udah di tentuin Tuhan"

--

"Sekian terima lelah, cukup sudah saya menyerah"letih, lesah, lesuh Alunan, melihat karyanya yang membuat pusing kepala.

"Ini apa, tidak berbentuk"geramnya sendiri memperhatikan coretan di atas kanvas.

Letih dengan lukisannya sendiri, diam-diam Alunan melirik lukisan Sastra, hanya tepi dari kanvas yang terlihat, letak duduk mereka membuat Alunan tak leluasa melihat karya Sastra, karna sudah terlampau penasaran Alunan melangkah mendekat, tepat di samping Sastra, menatap gambar yang tertera di kanvas, Alunan bingung dan takjub dalam satu waktu.

"Ini apa?"celetuk Alunan

"Yang kamu liat itu apa Alunan"

"Pohon, tapi kenapa beda"bingung Alunan

"Ini perempuan"jelas Sastra

"Hah"

"Pohon ini, kaya perempuan yang dimana dia engga boleh terlalu tinggi, tapi juga engga boleh terlalu pendek, pohon itu harus indah di pandang, engga boleh terlalu rimbu, tapi juga ga boleh terlalu jarang daunnya, sebelum berbuah pohon harus berbunga, bunganya harus cantik, wangi, dan menawan, setelah berbunga, dia harus berbuah, buahnya harus besar, enak, manis, pohon itu harus bertahan hidup walaupun gaada yang nyiram dia, dia harus bertahan dari angin yang selalu coba goyahkan dia, dia juga harus lindungin dirinya sendiri dari duri-duri yang bisa buat batangnya terluka."

"Saat terluka pun dia akan
menyembuhkannya sendiri, dalam lingkup ini. dia sendiri, dikelilingi tanaman berduri yang siap melukai kapanpun, semua jeri payahnya dengan diri sendiri engga cuman dia doang kok yang ngerasain, semua orang pasti terasa dampaknya, ikut merasa kesuksesannya, jadi kita harus bangga, karna selama ini kita ngapa-ngapainnya sendiri, ada atau engganya penyemangat pun, kita bakalan tetep bisa bangkit dan jadi yang terbaik".

Alunan menatap takjub kearah Sastra dan mengacungkan kedua ibu jarinya.

"AMALTHE SHEVANA SASTRA emang the best"pujinya

"Kamu juga the best"timpal Sastra balik sembari mengacungkan jempolnya kearah Alunan.

Alunan mendekap Sastra erat, yang langsung di balas tak kalah erat oleh Sastra.

"Aku beruntung bisa kenal kamu Sastra"

"Kamu hebat banget, kamu yang terbaik, cuman satu-satunya"

"Kita semua hebat, dan berharga Alunan, tabiat dunia adalah rasa sakit, mereka semua udah lewatin masalahnya satu persatu, dan masih bertahan sampai sekarang, tinggal menunggu giliran, untuk dipanggil Tuhan, karna itu adalah takdir kehidupan, semua yang hidup".

---

Early Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang