Early-35

1 0 0
                                    

happyreading
-
-
-
-

Langit amat cerah hari ini, dengan dasar berwarna biru yang di kelilingi awan putih bersih menambah kesan menawan.

Pagi hari dihiasi dengan terbitnya sang mentari yang selalu sedia menyinari walaupun tak setiap pagi, adakalanya mentari tak menampakkan diri, yang terpajang hanya hawa sunyi nan dingin, ditemani rintik hujan yang selalu menanti gilirannya beraksi.

Baru beberapa hari yang lalu dirinya mengenal sosok Sastra, namun Air sangat menyukainya, menjalani hidup yang sangat suram sudah Air lalui, tanpa adanya penyemangat, tempat berteduh dari badai, tempat yang melindunginya dari reruntuhan pasca dunia di sekitarnya hancur, bagai takdir sangat menyukai dirinya sensara.

Disini mereka berada, taman yang selalu Sastra kunjungi, taman yang manjadi latar belakang kenangan demi kenangan yang tercipta dengan indahnya.

Sastra duduk di hamparan rerumputan tanpa alas dengan santai, ditemani oleh Air yang tepat berada di sampingnya, menikmati suasana sekitar yang sangat menyegarkan mata.

"Sastra"panggil Air

Sastra hanya menjawab dengan deheman saja.

"Kenapa kita beda"

"Takdir"jawab enteng Sastra

"Takdir jahat banget ya sama gue"

"Air, takdir jahat sama semua orang"

"Tapi bahagia pasti ada waktu dan masanya"lanjut Sastra

"Kalo bahagia gue elo gimana"

Sastra menatap jengkel Air"Kamu bukan Tuhan yang bisa menentukan sesuatu hal yang luar biasa"

Air masih hanyut dalam pandangannya sendiri, tak menoleh menatap Sastra balik, dirinya telalu larut dalam suasana yang tersedia.

"Apa gue harus nyerah sama ketentuan yang Tuhan kasih"ujar Air

"Harus, sampai kapanpun kita berbeda dan gak akan bisa bersama. Air aku emang ada di beberapa bagian skenario hidupmu, tapi aku bukan pendamping dan pelengkap di cerita mu nanti"jelas Sastra

Air menghela nafasnya berat.
"Berat Sastra"lirih Air

"Aku, kamu, dan seluruh orang di dunia gak bisa merubah takdirnya Air, cerita hidup kita bukan sebuah karangan Novel yang alurnya bisa di rubah kapanpun, yang kisahnya sesuai apa yang kita harapkan, takdir dan alur hidup memang semenyedihkan itu, tapi gak di setiap partnya kita nangis, pasti ada ketawanya walaupun cuman beberapa baris"

Air tertegun mendengar kata demi kata yang Sastra ucapkan, tidak ada alasan logis untuk dirinya tidak memperjuangkan Sastra, namun saingannya adalah ketidak samaan Tuhan, yang membuat dirinya harus perlahan mundur, Air belum berjuang sedikit pun, dirinya sudah di patahkan oleh Takdir.

-
-

Air mata seorang Astereloin Airlan Bertramana meluncur bebas, tetesan Air matanya menetes di gundukan tanah yang masih terlihat baru, Air tak berhenti menangis dirinya masih saja memeluk gundukan itu, tak mempedulikan bajunya yang kotor atau tubuhnya yang terkena tanah, dia hanya ingin menumpahkan kesedihannya.

Tiga hari yang lalu Air berpamitan kepada Sastra, dirinya akan pergi ke luar Negri, Air hanya tiga hari berada di luar Negri, kepulangannya ke tanah air mendapat kejutan yang luar biasa hingga dirinya tak mampuh berkata-kata.

Tiga hari yang lalu.

"Besok gue pergi, mau oleh-oleh apa?"tanya Air

Sastra mengernyit bingung"Mau pergi kemana?"tanya balik Sastra

"Ke Amsterdam, Belanda. Bokap gue minta gue ikut dia ke sana"terang Air

Sastra mengangguk, lalu dirinya tersenyum hangat"Biasanya oleh-oleh khas Belanda apa?"tanya Sastra

Air menbalas senyum hangat Sastra, kemudian dia menjawab"Banyak, mau apa aja nanti gue beliin"

Sastra berfikir oleh-oleh apa yang dia inginkan, jarang-jarang dirinya mendapat oleh-oleh dari luar Negri, karna ada kesempatan maka jangan di sia-siakan.

"Mau minuatur kincir angin sama coklat Belanda dong"

Air masih dengan senyumnya"Oke di tunggu ya"

---

Pesawat yang ditumpangi Air baru saja mendarat dengan selamat di bandara yang berada di Indonesia, Air tak ingin berlama-lama di Belanda dirinya hanya 3 hari di sana, Air melangkahkan kakinya keluar dari bandara, menuju parkiran mobil dimana supirnya sudah menunggu.

Air masuk kedalam mobil, melihat dua orang yang berada di dalam mobil yang sama dengannya.

"Dia baik-baik aja kan"Air membuka suara

Kedua orang itu tidak menjawab pertanyaan Air, mereka dia dengan raut muka bimbang.

"Kenapa gak di jawab, ada yang salah!"seru Air lagi dengan nada yang sedikit membentak.

"Kami tidak bisa menginformasikannya tuan, lebih baik tuan muda yang langsung melihatnya"jawab salah satu dari mereka.

Tak ada suara lagi, penghuni mobil diam, mobil juga sudah berjalan, menuju tempat yang tak pernah terlintas dalam benak Air.

Tempat Pemakaman Umum.

Air mengerutkan dahinya bingung, kenapa dirinya di tuntun menuju tempat ini.

Kaki Air melangkahkan memasuki pemakaman, mengikuti dua orang bodyguard yang berjalan di depannya.

bodyguard itu berhenti, Air semakin dibuat bingung, dengan rasa penasaran Air melangkah kedepan, sekarang Air yang di depan, para bodyguard nya berada sedikit berjarak di belakang Air.

Air menahan nafasnya, dadanya sesak bagai meteor besar menghantam jantungnya, sakit sekali hingga dia tak bisa berbuat apa-apa, diam di tempat dengan air mata yang mulai keluar di temani isakannya.

"Kapan"tanya Air lemah

"Nona meninggal dua hari yang lalu tuan, meninggal di Rumah Sakit, penyebab yang di ketahui adalah ada gumpalan yang berada di kepalanya"jelas orang itu

"Sastra"lirih Air

Air melangkah, mendekat ke arah gundukan itu, dan langsung memeluknya.

"Sastra hiks, bangun, lo hiks gak boleh tinggalin gue hiks"

"Hiks, Sas-tra takdir kejam banget ya, liat gue gak di ijinin bahagia hiks, kenapa lo pergi sih, gue gak pernah ngijinin lo pergi kemana-mana, hiks tetep di sini Sastra, sama hiks gue"

Air memeluk gundukan tanah dengan nisan bertuliskan nama Sastra sembari menangis tersedu-sedu, Air mata yang keluar selalu menetes ke tanah itu, Air tak bisa menghilangkan kesedihannya, kepergian mendadak yang tak pernah disangka-sangka membuat emosinya tak bisa di kontrol.

"Kapan Tuhan ngasih hiks kebahagiaan Sastra, waktu dia kirim hiks lo di hidup gue, dan hiks gue bahagia, tapi, tapi kenapa Tuhan ambil hiks lo hiks, kenapa"

Bodyguard yang berada sedikit berjarak dari Air hanya mampuh terdiam dengan sorot pandangan kebawah, sesekali mereka melirik ke arah Air yang masih setia disana, mendengar rintihan Air membuat mereka iba, pasalnya Air tak pernah menangis, dia selalu diam tak bergeming, membuat mereka sedikit terkejut melihatnya.

"Sastra jangan pergi"lirih Air sembari menutup matanya, menyebabkan air matanya berlinang dan kemudia jatuh di tanah kuburan.

-Kenangan yang singkat, namun amat berkesan.

---

Early Onde as histórias ganham vida. Descobre agora