Early-34

0 0 0
                                    

happyreading
-
-
-
-

Air dan Sastra berjalan beriringan entah menuju kemana, keheningan kini menyertai keduanya, ditambah lagi dengan suasana yang mendukung, hanya ada suara alam dan kendaraan yang berlalu.

Sesekali Air menoleh melihat wajah Sastra yang menenangkan, kain yang menutupi kepalanya membuat Sastra jauh lebih menawan, Air heran mengapa dirinya bisa seperti ini hanya dikarenakan seorang anak remaja yang tak sengaja bertemu dengannya di rooftof, menimbulkan getaran di dada.

"Air, kamu gak ke Gereja?, hari kan hari minggu"celetuk Sastra memecah keheningan diantara mereka.

Air diam, sorot matanya mengerah ke bawah "Libur dulu"cicitnya pelan

Sastra memberhentikan jalannya, Air yang berada di depannya pun ikut berhenti dan menatap Sastra yang berdiam diri di tempat seraya menatapnya.

Air menghela nafas pendek, melangkahkan kakinya mendekat ketempat Sastra berada, menjadikan dirinya berada tepat di samping Sastra dan berkata.

"Ayo jalan lagi Sastra"

Sastra tak menjawab dia diam, sedangkan Air lagi-lagi menghelakan nafasnya, untuk kali ini helaan nafas lebih berat.

"Kenapa ibadahnya libur, emang Tuhan ngasih kamu nafas ada liburnya, Tuhan ngasih kamu Rizki buat makan ada liburnya, Tuhan kasih kamu kenikmatan ada liburnya, terus kenapa giliran beribadah ke Tuhan ada liburnya, emang Surga bisa di nego apa"omel Sastra

Air yang terkenal garang bagai singa kini terlihat seperti anak kucing yang sedang di marah oleh sang pemilik, dia diam dengan menundukkan kepalanya.

"Iya-iya maaf, gak akan lagi deh"

"Minta maafnya sama Tuhan dong, jangan sama aku"cerah Sastra

Air hanya mengangguk dan kemudian mengikuti Sastra yang sudah berjalan di depannya bagai anak itik dengan induknya.

-
-

Sastra membenarkan letak hijabnya, diiringi dengan datangnya Air membawa minuman di genggaman tangannya.

Air menyerahkan salah satu minuman kearah Sastra yang di terima baik oleh sang empu sembari berucap terima kasih.

Keduanya kini sedang beristirahat di salah satu bangku taman karna menempu perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki.

Sepanjang jalan keduanya banyak berinteraksi walaupun keheningan tak bisa dihindari namun tak membuat terasa bosan, ini menyenangkan bagi Air, bahkan sangat.

"Cape gak?"tanya Air

"Cape, tapi gak banget"

"Lo tau gak cape, cape apa yang buat dakdikduk"seru Air dengan wajah konyolnya

"Apa tuh"

"Capeka-capiki dengan punjangga hati"Air

Sastra tertawa, Air adalah manusia datar yang tak bisa banyak berekspresi tapi apa jadinya dengn dirinya sekarang yang sangat terlihat bukan Air.

"Kamu belajar dari mana Air"tanya Sastra yang masih diiringi dengan tawa kecil

Air menggaruk tengkuk kepalanya, apakah tebak-tebakannya tadi tak berbobot.

"Gue aja gatau, tiba-tiba muncul di otak"gumam Air, namun masih bisa terdengar oleh Sastra.

Sastra tambah tertawa mendengar gumaman Air, Air yang melihat itu terpanah, Air itu jarang berinteraksi dengan orang lain, tak banyak mempunyai teman, jarang berbicara empat mata seperti itu, Sastra pun tak mengerti bagaimana lingkungan Air.

"Cantik banget sih"puji Air

Sastra yang masih dengan sisa-sisa tawannya berhenti tertawa, menolehkan wajahnya kehadapan Air, Mata sipit itu membulat, dengan dihadapakan wajah Air yang sedang tertawa kecil.

"Cantik, cantik, Sastra cantik banget ya"goda Air

Sastra yang tadi hanya membulatkan matanya kini ditambah dengan pipinya yang bersemu malu, kenapa Air begitu suka menggodanya.

Air tertawa lepas melihat wajah Sastra yang sangat menggemaskan, ingin sekali dirinya cubit pipi cabi yang kini sedang bersemu itu, namun takaan bisa, kecuali dirinya adalah mahram dari gadis cantik nan menawan di depannya.

"Nikah yuk"celetuk Air

Sastra menatap bingung Air "Nikah, mana bisa kita beda Air"

"gue bisa masuk Islam"serunya dengan serius

"Gak, kalo kamu mau masuk Islam itu harus karna Tuhanku bukan aku"jawab Sastra

"Tapi gue gak mau kehilangan lo"

"-Gue gak mau lo sama yang lain Sastra, gue gak bisa liat itu, dan lo harus jadi milik gue"lanjutnya lagi

Sastra diam tak berniat menjawab apa yang Air katakan.

"Jadi istri gue ya"

"Air, gak bisa"jawab Sastra

"Bisa Sastra"Sastra menggelengkan kepalanya

"Kenapa, itu pasti bisa"kekeh Air

"Air!. kita dua takdir yang gak akan pernah bisa nyatuh"lembut Sastra

Air terdiam, mulutnya terlalu keluh untuk mengelak lagi, kata yang diucapkan Sastra membuat dirinya pasrah, kenapa dirinya harus terlahir berbeda dengan Sastra kenapa, kenapa, pertanyaan yang selalu berada dalam benak Air, dia belum bisa berdamai dengan takdirnya sendiri, karna pemilik hati yang berbeda dengannya, yang membuat tak bisa bersama.

Sastra pun diam, bergelut dengan pikirannya sendiri sembari menikmati ciptaan Tuhan, entahlah dirinya terlalu bingung dengan skenario yang tak bisa dirubah ini.

---

"Lo cinta sama Sastra"seru Alunan, membuka suara, pasalnya sendiri tadi dirinya hanya mendengarkan Air bercerita sembari mencerna apa yang Air katakan.

"Pasti, sampai sekarang pun masih"

"Walupun Sastra masih ada didunia, kalian gak akan pernah bisa nyatuh"Alunan sembari melirik kearah gelang coklat dengan tanda salib di pergelangan tangan Air.

Air mengikuti sorot mata Alunan yang mengarah ke pergelangan tangannya, kemudian memegang gelang berbandul salib itu.

Helaan nafas terdengar di telinga, Air dan Alunan masih belum beranjak dari Caffe itu, mereka berencana akan pergi setelah Air menceritakan semua kisah yang dibuat bersama Sastra.

"Setelah itu, kita ketemu di waktu berikutnya, sebelum gue berangkat ke luar Negri"

---

Early Where stories live. Discover now