36 - Humbert Humbert

967 139 19
                                    

Aku mencintaimu. Aku adalah monster, tapi aku mencintaimu. ~Lolita

*Kutipan Lolita yang muncul di sini agak berbeda dari teks aslinya. Di buku Lolita karya Vladimir Nabokov, kalimatnya adalah 'Aku mencintaimu. Aku adalah seorang monster pentapod, tapi aku mencintaimu'. Kalimat ini diucapkan oleh Humbert Humbert—seorang profesor sastra paruh baya yang pedofil—yang menyukai Lolita—seorang gadis di bawah umur yang menggoda. Untuk yang sudah pernah pernah membaca buku ini, tentu sudah bisa menebak secara kasar kasus di buku 2 ini.

Bangku-bangku batu ditata di sekitar kolam teratai yang sudah lama kering. Di tengah lumpur dan dedaunan layu berdiri sebuah patung perunggu. Patung perunggu itu bermodel abstrak; mata manusia biasa pada dasarnya tidak bisa mengetahui apa yang direpresentasikan dari pahatan itu. Tapi patung itu memiliki permukaan yang dipoles dengan sangat cerah di mana sebuah pantulan gambar bisa terlihat.

Baru saja, Fei Du dengan sengaja mendongak dan bersitatap dengan refleksi sepasang mata di permukaan patung itu.

Namun, patung perunggu itu bukanlah cermin. Cahaya dan bayangannnya buram; usia dan jenis kelamin orang tersebut bahkan tidak jelas. Tetapi untuk beberapa alasan, begitu ia melihat mata itu, jantung Fei Du berdegup kencang, dan kue sus vanilla yang baru saja ia telan sepertinya menempel di dadanya. Ia tanpa sadar mengangkat kepala dan—tatapannya pindah dari refleksi di patung—mencari ke sekeliling.

Apartemen tua itu tidak memiliki tembok pembatas di sekelilingnya. Di sana terdapat beberapa bangunan yang berkumpul menjadi satu kelompok, batas di antara bangunan dan jalan tidak jelas. Ada halte bus di dekatnya yang—karena salah penanganan—telah menembus masuk ke wilayah apartemen. Sejumlah orang berbaris di luar pagar semak-semak, kelompok demi kelompok datang dan pergi. Toko-toko di sepanjang jalan menjajakan dagangannya dengan penuh semangat. Sekarang sudah mendekati tengah hari, dan sudah ada orang-orang yang berdiri dan menunggu di depan beberapa stan makanan kecil.

Kerumunan di sekitar sangat ramai. Ada penghuni apartemen kecil itu yang keluar dengan hanya mengenakan piyama, ada orang yang lewat untuk menyelesaikan urusan di lingkungan sekitar, ada pemilik mobil pribadi yang menggunakan jalan di wilayah apartemen sebagai jalan pintas; ada orang-orang yang makan, dan orang-orang yang berdiri dan menunggu, serta orang-orang yang mengantarkan paket dan makanan melintas silih berganti ....

Pemilik sepasang mata itu sangat waspada; ia sudah menyembunyikan diri di tengah lautan manusia. Fei Du tidak menemukan tanda-tanda sesuatu yang mencurigakan.

Ia segera berdiri dan berkata kepada Chenchen, "Ayo. Kita pulang."

Chenchen sama sekali tidak merasakan krisis. Ia ber'oh' panjang yang menunjukkan kecewaan, dan memandang dengan tatapan mendamba ke arah toko-toko makanan yang berjejer di sepanjang jalan. Ia menjilat sisa kue sus dari jari-jarinya. Matanya menoleh, dan ia mengutarakan permintaan dengan alasan kuat ke arah Fei Du. "Aku masih punya uang jajan. Kau mentraktirku kue sus, jadi bagaimana kalau aku ganti mentraktirmu? Aku juga ingin yang rasa matcha."

"Lain kali saja." Fei Du dengan lembut tapi tanpa kompromi mendorong bagian belakang kepalanya. "Kita akan makan siang."

Chenchen terpaksa berdiri dan mengikutinya. "Tapi aku tidak suka makan siang. Ada banyak hidangan yang tidak aku sukai."

"Oh, sebenarnya, aku juga sama." Fei Du dengan sangat jujur ​​mengakui penyakit pangerannya di depan gadis kecil itu. Kemudian, ia melanjutkan dengan kalimat yang berbeda. "Tapi akan lebih baik jika kau lebih tua. Karena saat kau lebih tua, kau bisa membeli apa pun yang ingin kau makan, dan tidak ada yang akan tahu bahwa kau tukang pilih-pilih makanan."

Chenchen menatapnya tanpa bisa berkata-kata, merasa bahwa semua orang dewasa ini sangat tidak tahu malu. Saat itu, ia tiba-tiba melihat dengan jelas ekspresi Fei Du dan membeku di tempat.

[end] Silent ReadingWhere stories live. Discover now