Chapter 9

2.4K 285 12
                                    

"Ta, kita kelas XI nanti tidak satu kelas, ya?" tanyaku sembari meluruskan kakiku yag pegal naik ke atas meja. Saat ini aku dan Tara sedang duduk santai di ruang tengah rumahku sambil menonton film Orphan dari kaset DVD bajakan yang kami beli tadi pagi. Hari ini kami tidak masuk sekolah karena siswa kelas XII sedang UN, jadi kami menghabiskan waktu dengan bersantai nonton film.

"Iya," jawabnya seraya menegakkan punggungnya kemudian kembali menyandarkannya, "aku IPS, kamu IPA," imbuhnya.

"Yah, Ta. Siapa yang akan membawakan aku bekal tiap pagi kalau begitu?" keluhku dengan perasaan sedih membayangkan aku tidak sekelas lagi dengan Tara.

"Kita beda kelas, bukan beda sekolah," ucapnya sembari menyentil keningku, "aku yang akan tetap membawakanmu bekal setiap pagi. Kamu juga tetap berangkat sekolah denganku," lanjutnya seraya menatapku tajam . Aku hanya cengengesan menyadari kebodohanku.

"Hehehe maaf, habisnya aku keburu sedih memikirkan kita tidak sekelas lagi. Rasanya kita akan menjadi jauh, terpisah kelas walau masih satu sekolah," ucapku seraya menyandarkan kepalaku ke bahu Tara.

"Berangkat dan pulang kita ketemu, istirahat kita ketemu, kamu juga akan, selalu, dan wajib menemani aku latihan basket seperti biasanya. Rumah juga masih sekomplek, Ca," ucap Tara dengan pandangan fokus ke layar TV.

"Atau aku masuk IPS saja, Ta?"

"Heh! Kamu tuh pintar, kemampuan akademis kamu juga mumpuni di eksakta. Berbeda denganku, aku sangat malas dan pusing memahami berbagai rumus."

"Ta."

"Hmmm?"

"Kamu kenapa tidak suka dengan Adit? Kamu terlihat tidak senang kalau ada dia atau saat aku membicarakan dia," tanyaku pelan. Aku sebenarnya sudah lama ingin menanyakan ini tapi aku takut Tara akan marah padaku.
"Hmm entahlah. Pokoknya aku tidak suka dengannya."

"Tanpa alasan?" tanyaku bingung.

"Iya." jawabnya datar.

"Adit kan baik, Ta. Dia juga sopan, tidak pernah yang aneh-aneh, tidak merokok. Tara kan tidak suka dengan yang merokok, sama seperti aku. Adit juga perhatian," ucapku pelan, mencoba untuk menunjukkan sisi baik Adit.

"Hmmm."

"Coba deh Tara temenan sama Adit, pasti kalian bisa berteman baik," ucapku mencoba membujuk, "dia juga bisa main gitar, sama kayak kamu. Dia bilang pernah jadi gitaris terbaik sewaktu ada lomba band antar sekolah dulu," imbuhku.

"Kamu kenapa jadi memuji-muji dia?" tanyanya seraya menjeda film yang sedang ditonton dan menatap tajam ke arahku. Duh, marah nih sepertinya.
"Bukan begitu, Ta. Aku cuma mau bilang kalau Adit tuh baik. Aku tidak tahu alasan kenapa kamu tidak suka dengannya," jawabku.

"Pokoknya aku tidak suka dengannya," tandasnya. Dia kembali menonton film yang aku tidak tahu lagi bagaimana jalan ceritanya.

Aku mengalah dengan tidak lagi membicarakan Adit. Aku tidak mau berantem gara-gara pembahasan ini. Aku melihat sekilas ke ponsel Tara yang sejak tadi berbunyi menandakan ada chat masuk. Tara mengambil ponselnya, setelah melihat siapa yang menghubunginya, dia meletakkan kembali ponselnya di atas meja.

"Siapa, Ta?"

"Cindy."

Aku diam, enggan menanyakan apa-apa. Tara juga sepertinya tidak ingin menceritakan apapun tentang Cindy padaku. Aku kembali melanjutkan nonton film dengan Tara hingga sore hari, diselingi makan siang yang kami masak sendiri. Tidak repot kok, hanya mie instan dan telur.

~

"Kamu sudah bilang dengan Tara?"

"Belum. Hmm belum sempat, nanti aku pasti bilang kok sama Tara."

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang