Chapter 20

2.3K 235 10
                                    

Aku berdiri di depan cermin seraya merapikan seragam sekolah dan memastikan tidak lupa memakai gesper karena terakhir aku lupa mengenakannya, aku ditegur oleh guru. Aku memeriksa kembali isi tasku, memastikan tidak ada yang tertinggal kemudian langsung keluar dari kamar menuju dapur, tidak lupa mematikan lampu kamar sebelum menutup pintu. Papa yang sudah berpakaian rapi sedang duduk di sofa menunggu sarapan disiapkan. Mama baru saja keluar dari kamar sembari menenteng tas di tangannya. Tidak lama aku mendengar pintu kamar di lantai atas dibuka kemudian ditutup kembali, disusul Andra menuruni tangga. Kak Amel keluar dari dapur seraya membawa segelas susu cokelat hangat.

"Aku langsung berangkat, Pa, Ma. Nanti sarapan di sekolah saja. Ada yang harus aku kerjakan," ucapku seraya menghampiri Papa untuk berpamitan.

"Tumben. Ya sudah, hati-hati, ya," sahut Mama yang berdiri di sampingku. Aku segera mencium tangan kedua orang tuaku. Suatu hal yang dibiasakan oleh orang tuaku semenjak kami kecil. Aku juga berpamitan pada kakakku dan melakukan hal yang sama, saat dengan Andra, dia yang mencium tanganku. Kepada yang lebih tua, kesopanan seperti itu menjadi hal yang biasa bagi kami.

Aku tiba di sekolah lebih awal dari biasanya dan ternyata aku murid yang pertama datang ke sekolah pagi ini. Aku segera menuju kelas Caca dan mencari bangkunya berdasarkan petunjuk dari Ocha. Aku meletakkan sebatang cokelat (aku beli saat di perjalanan menuju sekolah tadi) di dalam laci mejanya. Aku segera keluar dari kelasnya dan menuju kantin untuk membeli sarapan.

Aku duduk menikmati sarapanku sambil kembali memikirkan apa yang baru saja aku lakukan. Aku biasa mengatakan apa yang Ocha lakukan pada Rain dulu sangat klise, tapi sekarang akupun melakukannya. Aku tersenyum sembari menggelengkan kepalaku, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan.

Tidak ada alasan khusus kenapa aku melakukannya, aku hanya ingin melakukannya. Bodoh. Iya, aku memang bodoh. Kenapa aku harus melakukannya padahal aku berniat untuk menjauh darinya? Tapi, bagaimana caranya kalau setiap hari aku selalu menemukan dirinya meski di tengah keramaian? Aku menghela nafas sembari memainkan sendok di dalam gelas di hadapanku.

Hampir setahun lamanya namun aku masih belum beranjak dari posisi di mana aku masih melihatnya sebagai seseorang yang membuatku bahagia meski hanya dengan sebuah senyuman darinya. Jantungku masih berdetak sama cepatnya tiap kali dia berada di dekatku, bahkan hingga di tahap aku berharap tidak mendapat serangan jantung saat tubuhku bersinggungan dengannya. Meski aku mencoba untuk mengingatkan diriku sendiri bahwa dia telah bersama yang lain dan tidak akan memandangku sama seperti caraku memandangnya, aku tetap tidak bisa berhenti menyukainya.

Aku tidak menyadari kantin mulai ramai karena terlalu asyik dengan pikiranku sendiri hingga seseorang duduk di depanku. "Mau sampai kapan kamu mengaduk minumanmu itu?" tanya seseorang dengan nada lembut namun langsung membuatku tersadar dari lamunan. Aku mendongak dan mendapati Cindy duduk di depanku sambil tersenyum. Aku balik tersenyum padanya dan menyudahi kegiatan bodohku. Aku melihat sekeliling yang mulai ramai, kemudian memperhatikan jam tanganku, sepuluh menit lagi bel masuk berbunyi.

"Selamat siang," ucapku sambil tertawa pelan.

"Selamat pagi, bodoh" sahutnya sambil tertawa dan melemparkan gumpalan tisu padaku, "aku menghubungimu sejak tadi tapi kamu mengabaikanku. Aku pikir kamu sakit lagi, tapi Winda bilang kamu lagi di kantin sedang memikirkan perekonomian dunia," imbuhnya seraya menopang wajahnya dengan tangan kanan di atas meja sambil menatapku.

"Hahaha maaf, ponselku di dalam tas dan aku silent jadi aku tidak tahu kalau kamu menghubungiku. Yuk, kita ke kelas. Kamu ke kantin hanya untuk mencariku, kan?" ucapku seraya berdiri dan merapikan seragamku.

Cindy segera berdiri dan berjalan mengikuti keluar dari kantin. Aku menyampirkan tasku ke arah kanan karena Cindy berjalan di sebelah kiriku. Dia menggandeng tanganku namun aku sama sekali tidak merasakan getaran yang sama seperti saat Caca yang melakukannya. Ah kenapa aku teringat Caca lagi? Cindy mengajakku ngobrol dan aku tertawa mendengar cerita tentang adiknya.

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang