Chapter 36

2.1K 223 30
                                    

Selama perjalanan pulang, kami tidak banyak bicara. Sibuk dengan pikiran masing-masing, namun entah apa yang Tara pikirkan. Aku sibuk berdebat dalam hati apakah malam ini aku harus mengatakan pada Tara apa yang tidak pernah aku ungkapkan sebelumnya. Alasan kenapa aku dulu menolaknya.

Aku tidak tahu apakah dia ingin tahu tentang hal itu saat ini atau tidak. Hal itu sudah berlalu sekian tahun tapi aku merasa dia berhak untuk tahu. Aku yang pertama mengungkapkan perasaan namun aku juga yang lari darinya. Bukan salah Tara kalau pada akhirnya dia pergi tanpa pamit secara langsung denganku. Aku pasti telah menyakitinya saat itu. Tapi, bukan hanya dia yang patah hati saat itu, aku juga.

Aku mengarahkan Tara hingga kami tiba di depan kostku. Aku tidak segera keluar, aku kembali mendebat pikiran dan hatiku untuk mengajaknya bicara. Aku memandang lurus ke depan dan memandang tembok yang membatasi komplek ini dengan tanah warga di sebelah sana. Mungkin untuk mencegah adanya orang lain yang masuk ke daerah sini selain lewat jalan masuk komplek. Daerah sekitar kost ini memang cukup sepi kalau malam, apalagi lokasinya memang di ujung jalan.

"Ta, kenapa kamu dulu pergi tanpa pamit langsung denganku?" tanyaku tanpa menatapnya. Aku menyandarkan punggungku dan memandang lurus ke depan.

Aku mendengar helaan nafas Tara. Dia mengetukkan jemarinya di setir mobil, kebiasaannya setiap kali sedang memikirkan sesuatu atau sedang gelisah. Dia masih belum berubah.

"Tara," panggilku karena tidak mendapat jawaban darinya. Kali ini aku menoleh ke arahnya. Aku dapat melihat raut wajahnya yang seperti memancarkan kesedihan.

"Aku sudah mengatakannya di surat itu, Ca," sahutnya tanpa menoleh padaku.

"Aku tidak tahu apakah ini saat yang tepat atau tidak, tapi aku ingin kamu tahu sesuatu."

"Tentang apa?"

"Alasan aku menolakmu saat itu. Kamu pasti ingin tahu kenapa aku menyatakan perasaanku padamu saat itu tapi aku justru menolak untuk menjadi pacarmu."

"Karena kamu tidak mau LDR?"

"Salah satunya. Alasan lainnya adalah karena aku takut, Ta. Itu merupakan hal yang baru untukku. Aku bahkan memendam perasaanku padamu selama bertahun-tahun saat itu karena alasan yang sama. Aku takut mencintaimu terlalu dalam, Ta."

"Kenapa kamu harus merasa takut untuk mencintaiku, Ca?"

"Aku takut kita tidak akan memiliki masa depan kalau kita menjalin hubungan dan berakhir saling menyakiti satu sama lain. Hal yang sangat tidak aku inginkan adalah menyakitimu lebih dari apa yang telah aku lakukan. Mungkin aku yang terlalu egois karena pada saat itu sepertinya aku hanya tidak ingin menyakiti diriku sendiri. Maaf, Ta," jelasku tanpa berani memandangnya. Aku merasakan sesak di dadaku mengingat apa yang telah aku perbuat dulu. Aku terhenyak saat tangan Tara menyentuh wajahku dan menghapus air mata yang tidak aku sadari mengaliri pipiku.

"Aku mengerti ketakutanmu itu. Aku tidak menyalahkanmu sedikitpun. Seandainya aku ada di posisimu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama saat itu. Saat ini kamu sudah bersama dengan yang lain. Aku yakin kamu melihat masa depanmu bersamanya," ucapnya pelan namun aku bisa merasakan rasa sakitnya saat mengatakan itu karena rasa sakit yang sama juga menusuk hatiku saat mendengarnya.

Aku menatap matanya yang berkaca-kaca, dia menahan emosinya dihadapanku. Kenapa mencintai seseorang bisa sesakit ini? Dia menghindari menatap mataku dan hanya menunduk. Aku menyadari dia menatap kalung yang aku pakai saat tangannya beralih meraih bandulnya.

"Kenapa kamu masih memakainya?" tanyanya seraya mengusap berulang kali bandul kalung yang melingkari leherku.

"Karena aku tidak bisa berhenti mencintaimu, Ta. I can't get you out of my mind. Saat bertemu kembali denganmu, aku rasanya sangat bahagia, Ta. Aku bahkan tidak bisa tidur malam itu karena memikirkan akan terus bertemu denganmu setiap hari. Tapi, saat mendapati kamu terus menghindariku, aku berpikir kamu membenciku," jawabku seraya memerhatikan dia yang masih fokus dengan kalung miliknya yang dititipkan padaku. Aku melihat senyuman tipis di bibirnya.

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang