Chapter 26

1.8K 237 43
                                    

TING TONG

Perhatianku segera teralihkan dengan bunyi bel rumah Caca. Aku menangkap raut wajah kesal Caca karena suara bel itu. Dia segera beranjak meninggalkanku menuju pagar rumahnya untuk menyambut siapapun tamu yang ada di depan pagar rumahnya itu. Aku mendengar suara pintu pagar yang dibuka namun aku tidak mendengar ada percakapan apapun.

Jujur saja aku merasa sedikit lega dengan ada gangguan ini karena aku hampir tidak bisa bernafas saat Caca ada di posisi yang sangat dekat denganku. Aku tidak tahu kenapa Caca bersikap aneh dalam beberapa bulan terakhir terutama hari ini. Tidak biasanya dia melamun, apakah dia sedang punya masalah? Kok dia tidak menceritakan apapun padaku? Ataukah dia sedang ingin menceritakan masalahnya sesaat sebelum suara bel tadi? Apakah masalahnya sangat berat?

Caca kembali masuk ke dalam rumah dengan raut wajah kesal. Aku memandangnya bingung. Aku mencoba menengok ke arah luar, menunggu tamunya masuk, tapi tidak ada siapapun. Caca duduk menghempaskan diri di sampingku. Aku diam memandangnya menunggunya bicara.

"Anak-anak komplek iseng yang membunyikan bel barusan," ucapnya kesal. Memang terkadang ada anak-anak yang suka iseng membunyikan bel rumah, rupanya barusan juga ulah mereka. Aku tertawa melihat raut kesal di wajahnya.

"Oh, mereka memang sering begitu. Kadang rasanya aku ingin mengaliri listrik di pagar rumahku supaya mereka tidak iseng lagi. Makanya Papa mematikan bel di rumah kami," ucapku sembari mengubah posisi dudukku kembali menghadapnya. "Kamu tadi mau ngomong apa?" tanyaku yang langsung membuat raut wajahnya kembali memerah. Serius deh, dia kenapa sih?

"Eh? Ehmm..a-aku..anu.."

"Hmm? Ada apa, Ca? Kok kamu jadi gugup gitu?"

Dia kembali diam kemudian menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan beberapa kali. Persis seperti yang dia lakukan sebelumnya. Kok malah aku yang jadi gugup?

"Ta, janji dulu sama aku, apapun yang akan aku katakan nanti, kamu jangan marah sama aku, jangan benci sama aku, jangan menjauh dariku. Apapun yang aku katakan nanti, kamu hanya perlu mendengarkannya, kamu tidak usah menjawab apapun. Kamu dengarkan kemudian lupakan. Paham?"

Aku mencoba mencerna maksud omongannya sembari menatap wajahnya yang serius memandangku. Aku menganggukkan kepalaku tanda memahami apa yang barusan dikatakannya. Kok aku jadi makin gugup.

"Janji?"

"Janji."

"Oke. Ta, aku suka sama kamu. Mungkin aku suka sama kamu sejak kita mulai dekat di kelas X, tapi aku tidak menyadarinya, lebih tepatnya aku menyangkalnya. Aku tidak ingin mengakui perasaanku sendiri karena aku takut. Aku pikir aku bisa melupakannya tapi ternyata aku salah. Saat kita kembali dekat, aku menyadari bahwa perasaanku ke kamu tidak pernah hilang. Kamu pasti menyadari perubahan sikapku. Kamu mungkin menganggapku aneh. Iya, aku mungkin memang aneh.

"Tadinya aku berpikir apa yang terjadi antara kita, maksudku kedekatan kita dulu, itu murni karena persahabatan kita. Aku tidak memiliki sahabat dekat selain kamu. Aku jadi posesif namun aku mencoba mengontrolnya karena aku tidak ingin membuatmu tidak nyaman dan menjauhiku. Aku sangat naif. Aku selalu meyakinkan diri bahwa apa yang aku rasakan adalah rasa sayang pada sahabat.

"Setelah aku menyadari perasaanku yang sebenarnya sama kamu beberapa bulan terakhir, aku tidak lagi bisa bersikap biasa saja di depan kamu. Aku tidak lagi bisa memandangmu tanpa merasakan debaran jantung yang membuatku rasanya semakin sulit bernafas. Aku tidak lagi bisa berada di dekatmu tanpa merasakan gejolak aneh dalam tubuhku. Aku tidak lagi bisa menggenggam tanganmu tanpa keinginan untuk terus menggenggamnya, aku tidak ingin melepaskannya. Semua perasaan yang tidak seharusnya aku rasakan untuk sahabatku sendiri.

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang