Chapter 13

2.3K 268 7
                                    

Setelah 2 hari yang lalu tim kami memenangkan pertandingan melawan SMA Baron, hari ini kami melaju ke babak final melawan SMA Raflesia yang sebelumnya berhasil mengalahkan SMA Buana Merdeka. Anggota keluarga di rumah datang untuk menyaksikan pertandingan kali ini. Saat aku memasuki lapangan aku melihat mereka duduk di tribun tepat di belakang bangku pemain. Mereka melambaikan tangan padaku, aku tersenyum pada mereka yang memberikan semangat padaku. Meski aku menemukan di mana keluargaku berada, mataku tetap mencoba mencari keberadaan seseorang yang sangat aku harapkan kehadirannya di sini.

"Ta, fokus, yuk," ucap Cindy seraya menepuk bahuku dan tersenyum. Aku tertawa pelan seraya menganggukkan kepalaku. Mengikuti langkahnya menuju bangku pemain bersama yang lainnya. Aku meletakkan tas di atas bangku kemudian mengeluarkan handukku. Kali ini aku benar-benar memastikan handukku ada di tempat yang  seharusnya, tidak nyasar ke tas yang lain, meski aku yakin aku tidak melakukan kesalahan sebelumnya.

Kami melakukan peregangan dan pemanasan ringan di pinggir lapangan sembari mendengarkan arahan Kak Tommy. Aku mengambil ikat rambut dari dalam tas kemudian mengikat rambutku yang membuat beberapa orang menatapku. Ocha memiringkan kepalanya menatap bagian belakang kepalaku. Aku baru ingat kalau aku memangkas rambutku kembali kemarin dengan potongan undercut seperti sebelumnya. Memang tidak ada yang pernah menyadarinya karena aku tidak pernah mengikat rambutku. Aku hanya tertawa kemudian mengajak mereka segera memasuki lapangan.

Aku berdiri di tengah lapangan bersama wasit dan kapten tim lawan. Aku menunduk menatap kapten tim lawan yang tingginya di bawahku. Bahkan aku berani jamin, aku pemain dengan badan tertinggi di lapangan saat ini, bahkan di sekolahku pun aku termasuk siswa dengan badan tertinggi. Saat upacara bendera, aku tidak bisa bolos karena aku yang paling gampang terindentifikasi kehadirannya.

Wasit meniupkan peluit tanda pertandingan dimulai dan bola basket dilemparkan ke atas untuk diperebutkan. Kapten tim lawan merasa dirinya tidak perlu meloncat terlalu tinggi untuk meraih bola. Tim mereka segera bersiap dengan posisi defense di wilayah mereka sementara timku langsung maju menyerang. Aku membuka permainan dengan tembakan 3 points yang aku luncurkan dengan mulus. Meskipun timku memiliki 3 pemain yang digadang akan meraih beberapa penghargaan sebagai pemain terbaik dalam 3 kategori berbeda, kami tidak boleh lengah. Kami tetap harus waspada dan fokus dengan cara bermain tim lawan.

Babak pertama dimenangkan oleh timku dengan skor 23-12. Ini baru babak pertama, skor kami masih ada kemungkinan untuk dikejar di babak berikutnya. Jeda antar babak aku manfaatkan untuk memperhatikan ke arah tribun tempat keluargaku duduk. Aku tersenyum pada mereka yang meneriakkan namaku. Babak kedua dimulai, tim kami memegang bola. Cindy melemparkan bola ke arah Resti meski dibayangi oleh tim lawan namun posisinya lebih menguntungkan. Resti men-dribble bola, mencoba melewati pertahanan tim lawan namun dia  kemudian passing kepada Ocha yang tiba-tiba muncul dari arah kiri. Tim lawan cukup terkejut dengan pergerakan tiba-tiba Ocha. Aku segera bergerak maju saat Ocha hendak melakukan lay up yang langsung coba dihalangi tim lawan, namun Ocha tidak melakukan tembakan ke arah ring melainkan melempar bola ke arahku yang langsung melakukan dunk ke arah ring dan langsung menambahkan skor dalam kurun waktu 2 menit. Babak kedua berakhir dengan skor 49-28.

Jeda half time aku manfaatkan untuk benar-benar menyeka keringat yang membanjiri tubuhku. Rambutku pun basah oleh keringat. Aku memandang ke arah keluargaku dan mendapati seseorang yang duduk di samping Mamaku. Dia memandang ke arahku sambil tersenyum, meski ada seseorang di sampingnya, otakku otomatis mengeliminasi kehadirannya. Saat ini dalam dimensiku hanya ada aku di pinggir lapangan dan dia di tribun penonton. Kedatangannya memberikanku semangat untuk bermain lebih baik lagi. Dia menepati ucapannya untuk menontonku bertanding.

Aku kembali fokus dengan arahan pelatih dan memahami strategi bermain untuk babak berikutnya. Sesekali aku melirik ke arah tribun dan mendapati dia yang sedang ngobrol dengan Mama sambil matanya menatapku, dan dia selalu tersenyum ke arahku. Saat hendak masuk ke lapangan untuk memulai pertandingan kembali, aku kembali memandang tribun dan mendengar Andra berteriak lantang menyebut namaku. Aku tersenyum kemudian melangkahkan kaki memasuki lapangan.

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang