Chapter 16

2.2K 263 8
                                    

Kegiatan pentas seni ini sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiranku. Baguslah, aku jadi tidak ada waktu untuk bersantai, ditambah dengan jadwal latihan basket. Pulang ke rumah selalu dalam keadaan lelah, terkadang langsung ketiduran tanpa sempat ganti baju, apalagi mandi. Saat persiapan dalam pelaksanaan sebuah acara memang kegiatan yang paling seru ketimbang hari H. Dikejar waktu, dipaksa berpikir saat ada hal yang tidak sesuai rencana, mencari solusi atas keadaan yang tidak terduga. Revisi rundown acara berkali-kali sampai muak, rapat-rapat-rapat sampai pusing. Tapi, itulah kesenangan saat jadi panitia sebuah event.

Aku sedang duduk di bawah pohon yang tumbuh subur dan rimbun di depan kelas X-3 sambil memantau jalannya acara. Aku memegang rundown dan HT di tanganku. Sekalipun sedang berada di bawah pohon, tetap saja aku berkeringat karena sedari tadi sibuk mondar-mandir memastikan semua sudah siap. Setelah acara pembukaan berupa sambutan-sambutan dan persembahan vocal group dari kelas XII secara bergantian di setiap selingan kata sambutan dari Kepala Sekolah, perwakilan guru, dan Ketua Panitia, langsung masuk ke acara hiburan. Kepsek juga tidak mau kebanyakan acara formal, kata beliau biar cepat dan tidak bosan. Terbaik memang beliau ini.

Saat aku sedang menyaksikan perwakilan kelas XI-IPS-3 yang menampilkan tarian daerah Kalimantan Barat lengkap dengan kostumnya, Cindy tiba-tiba sudah duduk di sampingku sambil menyeka keringat di wajahku. Aku terlonjak kaget gara-gara aksi spontannya itu. Dia menyerahkan sebungkus tisu padaku sambil tersenyum. Beberapa siswa yang di dekat kami langsung memandang aku dan Cindy bergantian sambil tersenyum. Mukaku rasanya memanas karena malu. Aku meletakkan rundown dan HT di sisiku sementara aku menyeka keringatku.

"Stop it! Kamu membuatku kaget dan jadi pusat perhatian," ucapku.

"Malu, ya?" tanya sambil tertawa.

"Diam, Cindy."

"Nih air minum buat kamu. Kamu pasti haus," ucapnya seraya menyerahkan botol minuman namun menariknya kembali, "mm-mmh, bilang 'makasih, sayang'. Hayuk," imbuhnya sambil tertawa.

"Niat kasih tidak sih?"

"Hmm hmm, haus tidak?"

"Ya sudah sini," ucapku mengalah seraya mengambil botol minuman dari tangannya, "terima kasih, ya, Sayang," imbuhku seraya mengusap kepalanya.

"Sama-sama, Sayang," sahutnya sambil tertawa kecil.

"Kamu sudah makan?" tanyaku sambil membaca rundown. Setelah ini pementasan teater dari dua kelas XI-Bahasa. Mereka memutuskan untuk bergabung dalam melakukan pementasan.

"Sudah, tadi ke kantin bareng Ocha dan Renata."

"Oh, terus di mana mereka sekarang?"

"Ke toilet, katanya nanti menyusul ke sini. Kamu sudah makan?"

"Belum nih, tidak sempat mengunyah apapun sejak tadi. Minum saja baru ini."

"Aku belikan batagor, mau?"

"Susah makannya. Nanti aku mesti banyak bawaan nih kalau segala bawa-bawa batagor. Lagian tanganku kotor."

"Aku suapin," sahutnya sambil tertawa kecil. Aku sontak memandangnya dan ikut tertawa.

"Ya sudah."

"Oke, aku ke kantin dulu. Jangan kemana-mana."

"Iya, Sayang," sahutku menggodanya. Wajahnya bersemu merah dan dia jadi salah tingkah. Dia segera pamit sebelum aku menggodanya lagi.

"Hai, Beb," sapa Ocha ceria sambil duduk di sampingku.

"Hai," sahutku seraya melayangkan fist bump kepada mereka berdua.

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang