Chapter 41

1.2K 91 18
                                    

Kalau merasa dunia itu suka bercanda, itu benar. Seringkali hal-hal yang tidak kita sangka atau mungkin sebisa mungkin kita hindari, terkadang terjadi dengan cara yang tidak kita duga. Hal-hal yang di pikiran kita berharap tidak akan terjadi tapi akan selalu ada suara kecil di belakang kepala kita yang mengharapkan hal itu terjadi, dan semesta memilih untuk mengabulkannya. Entah sebagai bentuk ujian atau semesta emang sedang mengejek kita.

Are you fucking kidding me now?

Sekian banyak hal yang pernah singgah di pikiranku, kenapa justru hal ini yang terjadi? Tidak cukup semesta mengirim Tara kembali ke dalam hidupku, sekarang bertambah lagi satu orang dari masa lalu.

"Hai," sapanya seraya berdiri dari sofa dan menghampiri kami. Aku terdiam seolah kemampuanku untuk bicara seketika menghilang. Raut wajahku pasti menunjukkan kebingungan dan ketidakpercayaan.

"Hi, yourself. Sedang apa kamu di sini?" tanya Tara dengan kening mengernyit bingung, "oh, don't tell me," imbuhnya dengan ekspresi seolah tidak percaya akan pikirannya sendiri.

"Aku kerja di sini, mulai hari ini," jawabnya enteng yang justru membuatku merasa seolah udara di sekitarku menghilang, "Nuga yang memberitahuku saat ada lowongan kerja di sini," imbuhnya yang seketika membuatku dan Tara saling tatap.

"Oh, hai Caca. Lama tidak ketemu," ucapnya lagi saat menyadari aku juga ada di sini.

"Hai, Cindy," sahutku seraya melambaikan tangan dengan canggung.

Tidak heran kalau teman-teman Tara mengenal Cindy, terlebih dia termasuk orang yang gampang membaur. Aku ingat kalau dulu dia banyak dikenal oleh siswa di sekolah padahal dia murid pindahan. Cindy sangat ramah dan tidak peduli apakah mereka adalah teman seangkatan, beda kelas, atau justru adik kelas. Dia bahkan dengan cepat berteman dengan orang kantin dan satpam sekolah. Mungkin juga karena pengaruh Tara, Ocha, dan Rain.

Beberapa menit kemudian kami membubarkan diri dan menuju habitat masing-masing. Aku seketika teringat dia menggantikan Adnan dan itu berarti dia duduk di sebelahku. Aku merutuk dalam hati namun tetap berusaha untuk tersenyum.

"Uhmm, hai. Selama posisi yang kamu tempati kosong, aku mengerjakan sebagian besar pekerjaannya. Jadi.." ucapku seraya menjelaskan dengan cepat dan singkat pada Cindy tentang beberapa hal yang aku yakin dia perlukan. Sisanya dia bisa cari sendiri di komputer yang ada di hadapannya. Aku rasa Adnan tidak akan merepotkan dirinya dengan membiarkan file-nya berantakan.

"Oke, makasih, Ca. Tidak jauh beda dengan pekerjaanku sebelumnya, kok," ucap Cindy seraya tersenyum padaku yang otomatis membuatku membalasnya, "santai saja denganku, Ca. Jangan bersikap seolah orang asing yah walaupun memang kita tidak mengenal dengan baik, tapi aku tetap menganggapmu sebagai temanku," imbuhnya yang membuatku merasa makin canggung.

Aku tidak tahu bagaimana orang lain melihat sikapku pada Cindy saat ini. Cindy benar, biar bagaimana pun, kami adalah teman sekolah dulunya. Aku tidak suka dengannya karena dia dekat dengan Tara, dulu kala. Tapi apa aku berhak untuk marah? Aku dan Tara hanya berteman, begitu pun mereka, bahkan mereka sudah berteman sejak lama terlepas kedekatan mereka sebelumnya. Cindy tidak memiliki salah apapun padaku. Dia dekat dengan Tara, begitupun aku, sebelum waktuku habis untuk Adit. Bukan salah Cindy juga kalau hingga saat ini mereka masih berteman dekat. Tara menjauh dan menghilang karena aku, bukan Cindy.

"Ca? Are you okay?" tanyanya dengan raut bingung.

"I'm okay," sahutku cepat. Aku terkesan sangat defensif.

Cindy tidak mengatakan apa-apa, dia hanya tersenyum padaku dan memutuskan untuk membiarkanku. Aku sedikit merasa lega karena dia tidak bertanya-tanya apapun lagi. Sesaat kemudian dia beranjak menemui kepala HRD yang memanggilnya dan ketika dia kembali, dia segera fokus memulai pekerjaannya.

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang