Chapter 24

1.8K 245 6
                                    

Bukankah seharusnya aku merasakan emosi yang dapat memakanku hidup-hidup saat ini?

Bukankah seharusnya aku merasakan emosi yang bisa membuatku merasa seolah dunia berhenti berputar dan berpikir ini adalah akhir duniaku?

Bukankah seharusnya aku merasakan emosi yang membuat dadaku sesak?

Bukankah seharusnya saat ini air mataku mengalir tanpa henti dan meratapi diriku?

Bukankah seharusnya saat ini aku merutuki dirinya?

Lantas kenapa aku tidak merasakan emosi apapun saat dia mengatakan hubungan kami berakhir dan tidak memberikan alasan apapun? Aku bahkan tidak berniat menanyakan apa alasannya.

"Ya sudah kalau memang itu mau kamu." ucapku saat Adit mengatakan putus padaku.

"Kamu tidak merasa sedih?"

Sedih? Aku malah tidak merasakan apapun. Aku justru merasa ada beban tak kasat mata yang terangkat dari pundakku. Hatiku sudah lama terasa kosong sehingga aku tidak lagi merasakan emosi apapun tentangnya.

"Entah. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini," sahutku datar.

"Mungkin kamu sudah ada yang lain makanya kamu tidak merasa sedih kita putus."

Selalu saja playing victim. Dia yang bilang putus, aku yang disalahkan.
"Kamu yang mengakhiri hubungan," sahutku.

"Kamu tidak ingin tahu apa alasan aku mengakhiri hubungan denganmu?"

"Tidak."

"Jangan-jangan memang benar kamu sudah ada yang lain makanya kamu tidak peduli lagi."

"Oke. Apa alasanmu?"

Dia tidak segera menjawab tapi hanya tertawa kecil. Aku diam menunggu dia menjawab pertanyaanku. Bukannya aku ingin tahu, aku hanya memuaskan egonya untuk yang terakhir kali.

"Karena aku bosan. Lagipula, aku saat ini sedang dekat dengan seseorang. Apa yang bisa aku lakukan dengan pacar yang jauh kalau ada yang dekat?" ucapnya sambil kembali tertawa. Aku hanya menghela nafas dan berharap percakapan ini segera berakhir.

"Oke," sahutku singkat. Aku bisa mendengar kegusarannya di seberang sana. Entah apa yang ada di pikirannya tapi sangat jelas kalau responku barusan bukanlah yang dia harapkan.

Dia langsung mematikan teleponnya tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Aku meletakkan ponselku di samping bantal dan menatap langit-langit kamarku. Aku merasa hampa, tidak merasakan apapun.
Aku meraih kembali ponselku saat terdengar notifikasi chat yang masuk. Aku tertawa pelan mendapati chat masuk dari Adit yang mengatakan dia akan mem-block kontakku. Dia block, hapus, atau pergi selamanya dari kehidupanku. Aku tidak peduli.

Aku sama sekali tidak merasa sedih putus dengannya, bahkan dengan alasannya memutuskanku. Setelah percakapanku dengannya berakhir dan kemungkinan dia pergi dari kehidupanku selamanya, aku justru merasa lega. Aku merasa lega karena aku tidak akan lagi terbebani dengan status sebagai pacarnya. Aku lega karena toxic relationship ini telah berakhir.

Aku bersyukur dia mengakhirinya secara baik-baik bukan dengan cara menghilang tiba-tiba, apalagi karena dia sudah ada yang lain. Setidaknya dia berkata jujur padaku. Was he? Ah sudahlah, apapun alasannya, yang penting saat ini aku sudah terbebas darinya.

Aku kehilangan sahabat karena dia. Sekarang aku sedang berusaha untuk mendapatkan sahabatku kembali. Aku memang tidak tahu malu sepertinya. Setelah mengabaikannya begitu saja, kini aku merangkak untuk mendapatkan perhatiannya kembali. Aku bahkan menginginkan seluruh perhatiannya hanya untukku, seperti dulu lagi. Aku merindukan saat-saat kedekatanku dengan Tara dulu. Aku merindukan bagaimana protektifnya Tara padaku dan aku menjadi posesif dengannya.

Denial (GXG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang