[ ARCHIGÓS LM - 18 ]

11K 2.4K 20.9K
                                    

Hai, jangan lupa follow wattpad Buna dulu yaps.


Meet gala author di IG :

@shnard994_

@alphaaword

Or ALL RP ARCHIGOS :

@archigos_ofc
@terjagad_jagad

SPAM KOMEN TIAP PARAGRAF JUSEYO🥰

CHAPTER 18 - THE TRUE



Eira merendam tubuh ke dalam bathup. Ia berdiam di sana selama kurang lebih tiga puluh menit. Ia sesekali turut menggelamkan kepala.

Merasa sudah cukup, gadis itu bangkit. Ia bahkan masih menggunakan pakaian lengkapnya hingga seluruh kain yang melekat di badan Eira basah kuyup.

Ia menarik napas, memandang kosong ke arah cermin di mana pantulan wajahnya terlihat.

“Lo pasti negur gue,” gumamnya. “Gue harus pulang, ya?”


FLASHBACK

Sreettt!

“Maaf! Sakit .... please berhenti, Eira— maaf. Gue salah, maaf!”

Eira merunduk, menyamakan tinggi dengan gadis yang memohon ampunan dirinya tersebut. Ia menyeringai, lantas kembali menjambak rambut si lawan.

“Shut up, Bitch!”

Ketika tangan Eira hendak melayangkan tamparan lagi ke pipi gadis di hadapannya, seseorang menangkis gerakan Eira. Eira menoleh, mendapati lelaki yang sama. Lelaki yang tiga bulan belakangan ini terus-menerus mengusik ketenangannya.

“I'm already said, Eira. Gue selalu siap jadi pelampiasan lo, kenapa masih ngelakuin hal kayak gini, sih, hm?”

Eira mendengkus, lalu berdecih. Ia menarik lengan supaya terlepas dari jeratan laki-laki itu.

“Lo boleh pergi,” titahnya kepada korban Eira. “Biar dia, gue yang tanganin.”

“Apasih? Lo mau sampe kapan sok jagoan, Berengsek!”

Bukannya marah, pemuda itu tersenyum tipis. Ia merapikan helaian Eira yang nampak berantakan. Seragam putih-biru Eira mulai kotor, hasil perbuatan dirinya sendiri.

Ia mengeluarkan sarung tangan, membersihkan jejak debu yang menempel di lengan dan telapak perempuan tersebut. Sembari menuntun Eira agar duduk di bawah pohon besar.

Suasana belakang sekolah SMP PUNCAK SELATAN begitu sepi senyap. Sebab, rumor turun-temurun tersebar dulunya di tempat ini merupakan bekas kuburan Belanda.

“Eira,” panggilnya dengan intonasi rendah yang lembut.

Eira memandang lurus ke lelaki itu, alisnya menukik pertanda tersulut emosi. “Berenti nyebut nama gue, Bangsat!”

“Cewek, kok, ngomong kasar begitu? Gue, aja, enggak pernah ngomong kasar. Masa lo kalah?”

Si gadis memutar bola mata jenuh. “Emang lo siapa?”

“Gue?” Ia berdeham, berpikir sebentar. “Cowok yang bakalan lingkarin cincin di jari manis lo.”

Mendadak perut Eira seolah bergejolak ingin muntah mendengarnya. Bayangkan saja, di usia dirinya yang masih begitu belia harus mendengar omong kosong dari lawan jenisnya. Jelas, ia jijik, apalagi— Eira itu benci laki-laki.

ARCHIGOS LAST MISSIONWhere stories live. Discover now