[ ARCHIGÓS LM - 22 ]

12.4K 2.4K 26.8K
                                    

.
.

TEBAK GURLS APA YANG BARU?

Hai, jangan lupa follow wattpad Buna dulu yaps.


Meet gala author di IG :

@shnard994_

@alphaaword

Or ALL RP ARCHIGOS :

@archigos_ofc
@terjagad_jagad

SPAM KOMEN TIAP PARAGRAF JUSEYO🥰

CHAPTER 22 - SOUNDLESS





“Halah, enggak apalah. Cuma enggak bisa denger, 'kan? Gue enggak apa-apa yaelah. Untung enggak mati, ya, enggak, sih?”

Mata dan mulut memang tidak bertulang. Tetapi, mudah membedakan keduanya. Mulut bisa menipu, sedang iris mata Jagad mengatakan betapa terluka dirinya. Manusia setulus Jagad tidak pernah bisa menutupi apapun. Sebab, netranya jauh lebih pandai dalam mengungkapkan kebenaran.

“Btw, gue boleh ngomong sama bokap gue dulu?”

Romeo maju. “Yaudah, mini Archigós ikut Daddy, aja. Gad, kita semua nungguin di luar, oke?”

Jagad terdiam sejenak. “A-anu— Daddy bisa ngomong agak lambat? Jagad enggak denger, hehehe.”

Ah, Romeo melupakan hal tersebut. Ia menggunakan bahasa tangan untuk menjelaskan kepada Jagad apa yang barusan ia utarakan. Satu menit kemudian, anggota inti meninggalkan ruangan Jagad supaya memiliki waktu mengobrol bersama Raga, papanya.

“Daddy ...,” panggilnya. “Daddy, rahasiain dari bubun, ya?”

Raga berdiri tepat di depan sang buah hati. Ia tidak ingin memperkeruh suasana hati Jagad. Tetapi, Raga selama ini tidak menyembunyikan apapun dari istrinya. Bagaimana dirinya mampu tidak menceritakan kejadian fatal yang menimpa putranya?

“Daddy, maaf. Jagad enggak nurunin kepintaran, Daddy. Malah sekarang— Jagad udah enggak bisa denger.”

Raga merasa tidak sanggup lagi mendengar curahan Jagad. Bagi dirinya, seseorang yang terlahir tak dapat mendengar merupakan keistimewaan. Namun, tidak berlaku bagi manusia yang pernah memiliki lalu direnggut paksa. Ia turut membayangkan betapa terpukulnya Jagad.

“Daddy.”

Hening, Jagad diam beberapa detik. Lantas, menengadah menatap papanya.

“Maaf.”

Pelupuk Jagad mengabur. Dalam sekejap, air mata banjir di pipinya. Ia terisak, menangis tanpa suara seraya meremat dada kuat-kuat. Hidungnya begitu tersiksa kesulitan menghirup oksigen. Ditambah, tenggorokannya seperti tengah terlilit rantai.

“Maaf.”

“Maaf.”

Ia memohon dengan nada lirih.

“Maaf. Maaf.”

Kalimat itu terus terulang.

“Maaf, Jagad mikir kenapa enggak mati sekalian.”

Jagad menepis tangan Raga yang mencoba merengkuh dirinya. Ia tidak butuh pelukan, dekapan Raga akan berakhir menyakiti dan membelenggu dirinya dalam jeratan rasa bersalah gagal menjaga diri.

“Jagad enggak suka tenang. Harusnya—” Iris obsidiannya menelisik acak ke penjuru ruangan. “Harusnya yang diambil nyawa. Kenapa harus pendengaran Jagad?”

ARCHIGOS LAST MISSIONWhere stories live. Discover now