*Hales

45 8 0
                                    

Tokoh :
- Vano ( 45 )
- BellaDonna ( 72 )
_________________________________________
Vano merasa kesepian setiap hari libur.

Iyalah.

Anak yang gede udah married, cucu udah 4, lagi isi. Aiden kuliah ngekos. Euis pergi mulu ngerumpi sama ibu-ibu sekitar.

Lah dia mau ngapain lagi?
Mau ke Jakarta dia udah tua, capek di jalan. Lagian katanya Mamia juga lagi dinas ke Dubai.
Ke Sarah doi lagi galau,
Ke Jimmy lagi jalan-jalan,
Ke Ray kejauhan.

Jadi yaudahlah planga plongo aja di balkon.

Tapi....ketenangan itu kayak impossible disini.

Vano ambil rokok dari kotak rokok, menjepitnya diantara bibir. Setelah itu tangannya merogoh untuk mengambil korek, tapi udah ada tangan lain menyodorkan api ke ujung puntung rokoknya.

Pasti Vano kaget lah, langsung nengok buat liat tantenya udah mejeng pegangin korek nyala.

"Ya Allah!", serunya mundur merangkak saking kagetnya, untung ga ngejengkang. BellaDonna terkekeh, lalu dengan santai membakar ujung rokoknya sendiri,

"Hai keponakan", panggilnya menyeringai, sebelum menggoyangkan korek untuk mematikan apinya, lalu menarik rokok dengan telunjuk dan jari tengahnya, menghembuskan asap dengan lega, "Rasanya pasti aneh kan?"

"Aneh gimana?", tanya Vano terdiam, membiarkan Bella menyalakan rokoknya dengan pemantik api kuno.

"Saat orang tua kamu meninggal, kamu kira kamu sebatang kara. Lalu bertahun-tahun kemudian seseorang datang mengaku sebagai bibimu", jawab Bella terkekeh ringan, namun membuat Vano berpikir.

"Bibi...bisa ngga kontak Abbi Ummi?", tanya Vano. Bella terdiam, menatap keponakannya yang masih merindukan orang tuanya.

"Yah. Gimana ya. Bibi kan Hale yang jauh lebih kuat daripada aku. Aku cuma penasaran aja. Bisa ngga, sekali lagi aja...aku ngobrol sama mereka. Kaya waktu itu neneknya Ray masuk ke badan aku...", Vano mulai mengandai-andai, sebelum dihentikan oleh Donna dengan tawa lembutnya,

"Bukannya kamu sendiri yang bilang? Kalo kamu gamau tau hal-hal indigo lagi?", tanya Bella menjepit rokok diantara jari tengah dan telunjuknya. Mendengar respon itu, Vano hanya bisa menghela nafas.

"Iya. Bibi bener", ia melamun sesaat, sebelum matanya tertuju ke jalanan di depan rumahnya. Bagi orang-orang biasa, jalanan itu hanyalah deretan aspal diantara perumahan yang tidak spesial. Namun di mata Vano, banyak sekali hal yang seharusnya tidak bisa dilihat, atau yang tidak seharusnya ada lagi.

"Yah...kadang hal itu ga bisa dikendalikan kan? Kayak ini...di mata orang-orang ibu-ibu itu cuma jual sayur. Tapi di mata kita...ada sesuatu yang bisik-bisik, ngeludahin pelanggan juga biar lebih laku. Walaupun kadang aku bilang gamau, aku gabisa kendaliin apa yang mata aku lihat", ucap Vano menyoroti pedagang curang yang digandrungi itu. Namun Bella tampak bingung.

Ia berkali-kali bertukar pandang antara keponakan dan pedagang sayur itu. Karena baginya, ada hal yang janggal.

"Kamu...lihat sesuatu? Mahluk?", tanya Bella. Vano mengangguk tanpa menoleh,

"Hitam semua, tingginya kira-kira 2 meter, bungkuk, tulang punggung nembus kulit  dagingnya juga mulai busuk, matanya kempes ngeluarin darah kering, mulutnya kayak habis disobek", jawab Vano mendeskripsi mahluk itu.

Bella terdiam, kemudian menghela nafas, "Bibi ga liat", ucapnya dengan mata agak membulat. Vano menoleh, tetap menjaga ketenangannya walaupun ia juga mulai merasa bingung.

Bella bisa membaca ini, tapi hatinya tetap ingin menyuarakannya dari mulut. Vano menaikan satu alis, "Yang sejelas itu?"

"Bibi liat. Tapi. Di mata bibi bentukannya ga jelas. Cuma kabut hitam aja goyang-goyang", Bella menjawab pertanyaan keponakannya itu. Namun sekarang ia menjadi cemas.

WE ARE TWINS : ACE & ALICEWhere stories live. Discover now