*Tidak mudah membesarkan mereka

58 13 2
                                    

Tokoh :

- Sarah ( 40 )

- Tuti ( 47 )

- Mamia ( 52 )

________________________________________

Ibu-ibu itu lagi ngumpul di mall.

Karen tiga-tiganya ansos.

Siapa yang ansos angkat tangan!!!

Jadi biasa yang pergi bareng itu Sarah sama Lia ( Mama adopsi Vano ), tapi karena dirasa sepi, mereka ajaklah mamanya Jimmy, Tuti. Mereka nongkrong di mall, ngobrol dengan cemilan dan kopi diantara mereka.

"Anak-anak kita udah pada nikah ya", komentar Sarah memancing percakapan. Tuti terkekeh sembari menarik sepiring kue dari nampan, memotongnya dengan garpu,

"Iya ya, yang gede udah pada nikah", jawab Tuti memasukan potongan kue rasa melon ke mulutnya.

"Ah anak saya mah udah nikah semua. Saya cuma ada satu", kekeh Mamia menyesap kopi hitamnya, mengundang kekehan ibu-ibu.

"Lia, si Vano mukanya lumayan mirip kamu ya. Matanya, dagu yang berisi persis kaya kamu", komentar Tuti. Mata Mamia dan Sarah membulat, mereka bertukar pandang seolah tau isi otak masing-masing.

"Tapi iya ya? Matanya mirip kamu", Sarah nimbrung, melirik mata Lia lekat-lekat.

Ia lalu beralih ke Tuti, mama Jimmy, "Tapi Vano bukan anak kandungnya lho", ucap Sarah, bikin Tuti yang lagi sibuk makan berhenti.

"Serius?!", tanyanya dengan mulut dipenuhi kue.

"Bener. Vano malah kenal Jimmy lebih lama dibanding ke Lia", balas Sarah menunjuk Mamia yang tersenyum ragu.

"Iya. Vano...saya adopsi", ungkap Mamia,
"Dari dulu...saya menginginkan seorang anak. Tapi tidak ada tanda-tanda pernikahan di hidup saya. Dulu saya sering bilang ke pak Zac bahwa saya ingin mengasuh anak, tapi dia ga kasih saya untuk mengasuh dari panti yang dikelola, malah, dia mengatakan ada satu anak yang dia rasa layak diadopsi oleh wanita seperti saya. Maka itu...saya kenal Vano",

"Uwahhh ini ada juice neh. Spill dong pas awal kalian ketemu", pinta Sarah berpangku dagu, sementara emaknya Jimmy makan terus.

Lia menghela nafas, mengingat-ngingat hari dia bertemu dengan anak asuhnya itu, "Silvano...waktu itu kami dipertemukan di rumah saya"

Dia ingat, waktu itu dadanya berdebar sangat kencang. Mereka sudah sering bertukar pesan di handphone, bertelepon, dan video call berulang kali. Chemistry ibu anak mereka nyata adanya. Lia langsung tau bahwa ia akan menyayangi anak ini seperti anaknya sendiri. Namun dia tetap sangat ragu saat pengurusan adopsi usai, dan Lia diperbolehkan membawa remaja itu pulang. Dia bahkan harus ditenangkan oleh bosnya terus.

"Pak?! Saya layak ga sih?! Saya pantas ga buat ngadopsi anak ini?! Saya bisa jadi ibu yang baik kan ya?!", ucapnya panik di telepon.

"Astaga, iya Lia! Iya! Bisa!", Zac harus berulang kali menenangkannya.

Ia ingat saat jantungnya serasa berhenti saat mendengar klakson mobil Ray di depan rumahnya. Ia kehabisan kata saat membuka pintu, saat melihat anak bosnya, dan melihat anak yang akan diadopsinya.

Anak itu juga terlihat malu, dadanya pasti berdebar-debar untuk bertemu dengan ibu sambungnya. Di awal-awal saat ia diantar ke kamar, ia menggunakan bahasa yang sangat formal dan terkesan kaku.

"Eh tadi, kata lu si Zac ga ngasih lu adopsi anak dari panti asuhan? Kenapa tuh?", tanya Sarah menghentikan cerita Mamia sesaat. Wanita itu menjentikan jarinya menunjuk Sarah, "Ini baru kita mau masuk ke bagian itu".

WE ARE TWINS : ACE & ALICEWo Geschichten leben. Entdecke jetzt