JUST SEAN | 21

598 114 4
                                    

Sean mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jika dirinya tak handal berkendara, bisa saja ia menabrak trotoar dan mati ditempat saking kencangnya. Ah shit, padahal itu yang Sean harapkan.

Ponselnya bergetar menandakan ada yang menelponnya tapi Sean tak terlihat memperdulikannya sedikitpun.

Matanya sudah merah dan terlihat tak ada tanda berdamai sedikitpun dibalik helm full face-nya itu.

Sean harus bagaimana? Tak pernah sedikitpun terpikirkan olehnya akan mengalami hal semenyakitkan ini. Rasanya lebih buruk daripada kematian.

Jujur, kehilangan orang yang sangat dicintai adalah neraka bagi Sean sejak kecil. Dimulai dari kematian Kakek kesayangannya saat ia kelas 5 sd dulu. Dan sekarang ia akan merasakannya lagi.

•~•

"Anjing dimana sih tuh anak." Fino mengacak rambutnya frustasi. "Kenapa sih punya temen satu kisah percintaannya tragis amat."

Pria itu mengitari pandangannya ke segala arah kelab malam yang biasa Sean datangi disaat pria itu sedih. Fino harap sahabatnya itu benar-benar ada disini. Mau cari kemana lagi jam 2 malam begini?

Matanya tiba-tiba berhenti pada satu sudut. Fino tersentak melihat Sean yang sudah main pukul-pukulan dengan para pria paruh baya, ah ralat--berantem beneran maksudnya.

Masalahnya Sean terlihat mabuk. Bahkan dikeroyok dan sudah babak belur pun pria itu masih tertawa.

Walaupun dikeroyok pria itu tak kalah, karna 4 pria paruh baya itu sama babak belurnya. Jadi sekarang Fino hanya perlu membantu sedikit.

Okey, pria itu berlari lalu melompat dari atas bar dan menendang kepala pria paruh baya yang hendak memukul Sean. Saat pria paruh baya itu terjatuh, Fino melompat dan langsung menarik tangan Sean pergi.

Sean terlihat kesal. "Ngapain kabur bangsat! Gue bisa bunuh mereka semua!"

Fino mendorong Sean ke tembok dengan kasar saat mereka sudah keluar dari kelab itu.

"Sean sadar! Lo pikir Nayla gak sedih liat lo kayak gini?! Lo sekarang kacau banget, bro." Tandas Fino yang merubah raut wajah Sean saat mendengar nama Nayla.

"Sekarang kita pulang. Lo istirahat dulu, besok pagi kita ke rumah sakit. Okey?" Ujar Fino yang terlihat diacuhkan oleh Sean. "Demi Nayla," lanjut Fino sengaja.

Sean membuang nafasnya kasar. Pria itu pergi menuju motornya yang membuat Fino membuang nafasnya lega. Akhirnya menurut juga.

•~•

Suara burung di pagi hari serta teriknya matahari membuat Sean mengerjapkan matanya. Ah, kepalanya terasa pening. Bahkan tubuhnya terasa sedikit pegal.

Pria itu langsung mengambil ponselnya melihat jam, tapi matanya membulat seketika melihat hari di sana.

"Ma, kok udah hari Selasa?" Ia membuka pengaturan kalau-kalau ponselnya error.

"Kamu tidur seharian sayang, kamu demam semenjak kemarin subuh pulang. Fino udah bulak-balik beliin kamu obat. Kamu panas dingin, Mama khawatir banget."

Sean menggeleng lemah. "Enggak.." Bagaimana dengan Nayla?

Pria itu bangkit dan langsung mengambil kunci motornya dinakas.

"Seann mau kemanaaaa?!"

•~•

Sean berlari melewati koridor-koridor rumah sakit. Sudah berapa orang dan perawat yang sudah ia tabrak saking terburu-burunya.

Sampai.

Kenapa sepi sekali? Kemana Jenni? Tata? Om Geral, Bi Aci?

Sean membuka pintu. Ia terduduk lemas saat melihat ranjang dimana tempat Nayla terbaring lemah disana kini sudah dirapihkan.

Apa Sean terlambat?

"Arghhhhhhh!" Pria itu mengacak rambutnya frustasi.

Bagaimana ini? Sean harus bagaimana.

Dirinya merasa sangat hancur.

Bodoh. Seharusnya ia menemani Nayla disaat terakhirnya.

"Lo bodoh, Sean!" Sean menangis sejadi-jadinya. Ia terus memukul kepalanya. Ia merasa semua ini salahnya.

Jika saja ia tidak pergi ke Amerika. Ia terus menemani Nayla, pasti ia lebih banyak memiliki waktu bersama gadis malang itu.

"Lo bego, Sean. Lo brengsek!"

Prangg!

Kepalan tangan Sean dipenuhi dengan darah. Pria itu memukul kaca nakas.

Sialan. Bahkan tangannya sudah seberdarah ini tapi ia tak merasakan sakit.

Karna hatinya, jauh lebih hancur didalam sana.

JUST SEANWhere stories live. Discover now