1. Hujan di Tengah Terik

14.1K 1.7K 62
                                    

Perempuan itu memungut lembar demi lembar pakaian yang tercecer di sembarang titik di lantai marmer sebuah kamar. Tepatnya, sebuah executive suite bintang lima kenamaan ibukota. Maharaja Hotel.

Bulir demi bulir tak tertahankan lagi. Seenaknya mengalir dari sudut sepasang mata indah. Deras. Dan makin menganaksungai, mengiringi gemetar diri. Ia kesulitan menguasai. Timbunan rasa bersalah menindih batin seorang Cantika Aasiya Sudjatmiko.

Hari itu, jarum jam masih menunjukkan pukul 4 pagi, tepat ketika ia terbangun dan menyesali apa yang telah menimpa dirinya. Penyesalan memang selalu datang belakangan.

Di sisi lain, seseorang bernama Rais masih tertidur pulas di bawah linen lembut tebal. Udara dingin air conditioner sama sekali tak mengganggu lelapnya. Apalagi, cekatan tangis di tenggorokan perempuan yang ia renggut apa yang seharusnya terjaga hingga menemukan belahan hati sebenarnya.

Belahan hati?

Cantika tertawa miris di tengah goyahnya emosi. Harusnya ia tak usah menyesal. Kejadian malam berkabut hujan kala itu, murni keinginan keduanya. Kesepakatan nikmat sesaat, yang mengaburkan seburuk-buruknya maksiat. Dosa besar yang akan dibalas di dunia dan akhirat. Tanpa peduli segala alasan mendasari.

Cinta?
Minuman memabukkan?
Atau, sekadar keputusasaan menentukan akan seperti apa masa depan?

"Ta?"

"Tumben lo Subuh-subuh telepon."

"Bisa bukain pintu nggak?"

Prita-sahabat satu-satunya sejak mereka berkenalan di ajang penjurian perempuan tercantik satu negeri-tak bisa menyembunyikan keterkejutan dari nada di seberang sambungan.

"Stres lo?! Kenapa lagi? Tunggu, tunggu!!"

Cantika memasuki rumah mewah keluarga kecil bahagia di bilangan Kemang itu. Tak perlu ribuan pertanyaan, harus Prita bombardirkan pada wanita berambut awut-awutan di depan pintu. Raut itu jelas menampakkan bagaimana remuknya kebanggaan dalam diri. Pakaian yang Prita tebak juga turut kusut, sempurna tertutup mantel merah berbahan polyester dari Dolce & Gabbana, yang juga tak lagi rapi. Sisa eyeliner meleleh di kelopak mata. Lipstik pudar warna peach kesukaan si empunya, mulai tak beraturan tanpa batas polesan, melewati tepi yang seharusnya.

"Gue ... gue nggak punya masa depan lagi, Ta."

Ya, Cantika baru saja membunuh mati masa depannya sendiri. Masa depan yang terlanjur terkikis habis sejak ia mulai bergonta-ganti pacar. Mencari kebahagiaan sejati, seolah waktu tak mau menunggunya sedikit saja. Setidaknya, berjalan lebih lambat, agar ia punya kesempatan memilah-milih yang terbaik. Lantas, ketika tiba saatnya berdiri di ujung jurang, Cantika memutuskan terjun alih-alih menarik diri dan memohon pertolongan.

Harapan ... selalu mengelabuhinya hingga sulit tergapai.

----------
----------

"Kemelut hidup bagai hujan di tengah terik. Ia datang tiba-tiba, menenggelamkan sinaran surya yang sedang menaungi dunia.

Namun percayalah, jatuhan titik-titik air itu takkan bertahan terlalu lama. Awan akan bergerak menjauh, dan menampakkan apa yang kamu tunggu-tunggu selama ini. Harapan ... selalu ... ada."

🌸🌸🌸

"Wow. Sebait sajak yang bagus."

Senyum lebar, tepuk tangan antusias, ekspresi bahagia di depan layar kaca, benar-benar menutup habis jengah dalam diri. Cantika adalah makhluk terlatih dalam urusan memalsukan ekspresi. Menyembunyikan perasaan yang sebenarnya dan menampilkan apa yang orang-orang inginkan.

Batinnya berontak. Benarkah harapan masih selalu ada?

"Benar Cantika. Kapan-kapan bisa nih, kita bikin semacam lomba puisi tentang tema berita kita tiap pagi."

"Ide bagus rekan Adya." Perempuan itu mengalihkan pandang secepat kilat ke arah narasumber acara TV-nya. "Terimakasih Pak Candra, Pak Rafael, atas obrolan sarat ilmu untuk kami pagi ini. Ternyata, bahasa Indonesia juga punya sisi romantis ya? Enggak melulu bully kasar saja yang menjamur di medsos zaman sekarang. Yuk generasi muda, bisa nih dijadikan referensi bikin konten, ya Adya?"

"Yup. Saya yakin di tangan kreatif pemuda-pemudi zaman now kalau orang bilang, puisi yang orang suka sebut gaya jadul, bisa di-remake menjadi lebih masa kini dan ciamik."

Sorot mata lentik dengan bulu sintetis tambahan yang makin memperindah manik perempuan itu, mengarah tepat ke kamera, usai memberi anggukan setuju. Senyum manis memancar dari wajah tanpa kerut bak bidadari, menghias layar kaca penonton ATV setanah air. "Baik pemirsa. Lagi-lagi, waktu jugalah yang harus memisahkan kita. Jangan lupa, kita ketemu lagi besok pagi, dengan bintang tamu yang sayang untuk Anda semua lewatkan, dan tentunya tetap ... dimana Adya?"

"Di Selamat Pagi Dunia. Have a nice weekend, and see you."

"See you."

--------------

"Cantikkkk!"

Teriakan ibu dokter anak satu dari belakang menyetop kegiatan pembersihan sisa-sisa make up tebal di depan meja rias. Ia berbicara dari pantulan kaca. Tak perlu menoleh untuk tahu sosok yang memeluk punggung dari belakang.

"Ngapain ke sini? Bukannya syuting?"

"Sumpah lo. Beneran pakai hijab sekarang?" Prita tak menjawab. Justru mengutarakan perasaan yang ia tunggu-tunggu sejak dulu.

"Umur gue udah lewat separo. Dua per tiga malah. Daripada mikirin jodoh gue yang nggak habis lo mimpiin, mending gue ngejar akhirat."

Bibir Prita mengerucut. Tangannya sesuka hati menepuk bahu si sahabat.

"Ish! Kok gitu sih alasannya? Kayak orang pesimis."

"Bagian mananya yang termasuk kata-kata pesimis, Ibu Dokter? Gue realistis."

"Boleh aja realistis. Tapi lo juga harus percaya keajaiban. Keajaiban itu ada."

"Alin mana? Lo nggak syuting? Udah mau jam 9."

"Ada di studio 5 sama sitter gue. Gue udah siap-siap. Gue denger dari make up artist gue lo pakai hijab, larilah gue ke sini. Aaaaa gue senenggggg ... !!!!!"

Seandainya, Prita tahu pergolakan hati apa yang sedang Cantika alami, ia pasti tak hanya akan memeluknya. Tapi mengerahkan apa yang ia bisa untuk membuat Cantika tetap bertahan sebagai sahabatnya ... selama mungkin.

------------

🤗🤗🤗
Halooo bagaimana harimu?
Bab 1. Masih berisi kekepoan aja.
Semoga betah ke depan.
Cuss ramaikan komen.

Tap BINTANG pojokan kiri WAJIB BINGIT ✅✅

Wajib FOLLOW sebelum lanjut.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt