33. Berharap pada Manusia

3.8K 871 36
                                    

Apa yang bisa manusia harapkan dari manusia lain? Jika bukan semacam menepati janji, ya, hanya kecewa yang didapati.

Pun, iman seseorang nyatanya memiliki fase naik turun. Bisa jadi kemarin ia berubah sangat manis, bisa jadi hari ini begitu menyejukkan hati, bisa jadi pula besok menjelma sosok yang sangat tak diingini.

Menggantungkan asa setinggi langit pada makhluk bernama manusia, beresiko sangat fatal.

Tepat sekali.

Nampaknya, Cantika baru menyadari kesalahan barusan, di detik ia mendapati Maharaja Rais pulang dalam kondisi setengah sadarkan diri. Pada pukul 1 dini hari. Berbekal bantuan rangkulan Pak Dirga dan seorang bellboymelewati lift khusus yang hanya diperbolehkan untuk jajaran petinggi hotel, kepulangannya menuai kecewa dari sang istri.

"Aku ada ketemu klien di Retro. Ikut yuk?"

Retro?

Cantika punya pengalaman buruk tentang Retro. Tempat pertama sekaligus akan menjadi yang terakhir kali yang ia datangi kala itu. Di sana, segelas suguhan berhasil mengaburkan keimanan. Menyentak kesadaran hingga ke level tak tahu malu.

"Aku di rumah aja."

Sepulang dari memeriksakan diri ke dokter kandungan pada siang harinya, Cantika memilih pulang bersama sopir taksi dibandingkan mengekor suami, yang mengajaknya ke area sumber maksiat. 

"Ayolah, Tik. Ikut!" ajak Rais makin memohon.

Sang istri kekeuh menggeleng hingga penawaran terakhir si suami. Rais memang berniat bertemu salah dua dari sekian deret janji temu yang dirancang oleh Reksa. Kali ini, seorang DJ amat terkenal, yang juga pemilik satu resort di Nusa Dua Bali. Kerjasama pun terjalin mulus, sampai sebuah tawaran menggiurkan iman tak bisa Rais elak, demi kelancaran hubungan di masa depan antara kedua belah pihak.

Cantika menitikkan sebulir kesedihan. Sendirian. Tanpa ada bahu tempat bersandar.

Dia menangkap tubuh suaminya. Bau menyengat mengganggu penciuman.

"Hai, Istri. Kenapa belum tidur?" tanya Rais lebih mirip bergumam. Ditambah segaris senyum.

"Aku tungguin kamu. Kenapa mabuk?"

"Ya, ini DJ Denny tadi. Udah lama juga aku nggak nyicip-nyicip dikit. Ternyata, masih seenak dulu, Cantik."

Cantika diam. Membiarkan Rais meracau sampai berbusa. Obrolannya makin jauh namun tak ada yang bisa disambungkan satu sama lain. Melompat-lompat antar topik.

Sesaat, Rais bercerita tentang isi kepalanya yang mau meledak. Perseteruan keluarga soal harta warisan, yang masih saja awet menjadi tema paling hangat. Menangisi perjanjian ini-itu yang pernah gagal. Lantas, tiba-tiba tertawa oleh tertandatanganinya kesepakatan bernilai ratusan juga. Ia bertepuk tangan untuk dirinya sendiri.

"Kenapa kamu nangis? Kamu nggak suka aku sukses?"

Rais memandang kesenduan pada wajah Cantika. Perempuan itu menarik bangku rias untuk ia duduki tepat di depan sang suami terkapar. Kadang berguling tak tentu. Entah apa maunya.

"Suka."

Rais menegakkan punggung.

"Bohong!"

Pemilik penthouse lantai 27 itu, berteriak dari ranjang mewahnya. Sepatu telah Cantika lepaskan. Dasi longgar masih bertengger. Pun Cantika juga tetap membiarkan pria itu memakai kemeja kerjanya. Dia maju hingga tepat di bibir ranjang.

"Kamu nggak bahagia! Kenapa sih? Aku kurang apa, sih, ngasih kamu? Kapan kamu mau senyum untukku, Tik? Setiap hubungan, kamu selalu diam-diam nangis. Aku tahu! Aku tahu!! Kamu ... bikin aku gila!!"

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaWhere stories live. Discover now