5. Boba di Coffee Cafe

6K 1.2K 77
                                    

"Kita dipindah liputan ke lapangan, Mbak!!"

"Makan yuk? Kita ngobrol di luar. Lo udah kosong kan?"

Kata-kata Jessi terhenti oleh seretan lengan Cantika di bahu. Perempuan yang hanya setinggi pundak Cantika itu bungkam. Memikirkan nasibnya sebulan ke depan memang membutuhkan isi perut yang kenyang. Sarapannya tadi Subuh telah habis terkuras oleh tenaga sejak pagi.

Jessi menyerahkan satu lembar surat tugas yang di dalamnya menyertakan nama Cantika sekaligus 2 orang tak bersalah namun terkena getahnya. Jessi dan Shandy. Ketua tim kreatif dan seorang kameramen.

Cantika mengamati kertas putih tergolek tak berdaya di meja, bersisihan dengan 2 mangkuk Soto Betawi, 1 piring kecil emping pelengkap, 1 cup besar boba kloter kedua, sepiring gorengan, dan 2 botol air mineral. 

Tepat sebelah sayap kiri parkiran motor gedung megah ATV tower, terdapat area berderet yang diisi oleh para penjaja makanan dengan rate harga menengah ke bawah. Ada sekitar 10 lapak, yang bisa Cantika dan Jessi pilih menunya. Dari gudeg, soto, warteg, hingga jenis minuman es-esan. Cocok bagi karyawan yang ingin menyisihkan uang demi menabung sekian gram emas di sisa-sisa tanggal dua puluhan. Sedangkan di dalam gedung yang beralamat di jalan Prof. Dr. Satrio ini, sebenarnya telah terdapat area nongkrong cantik yang amat pas digunakan untuk menjamu tamu penting di sofa-sofa empuk milik Coffee Cafe. Atau, minimal bisa dimanfaatkan para pegawai di tanggal muda untuk sekadar selfi kekinian sembari menikmati hidangan pengenyang perut, demi keeksisan album foto ciamik di media sosial. 

"Kita ya? Gue sih nggak papa. Lah, kenapa lo sama Shandy keseret?" jawab Cantika seringan bulu. 

"Gue kan kreatif lo. Apa yang keluar dari mulut ceplas-ceplos lo, itu tanggung jawab gue, Mbak Tika sayaangg!"

Si gadis muda itu masih tak terima pada kelakuan kakak tertuanya di ATV. Derajat penekanan yang keluar dari nada bicara Jessi terlihat mendominasi, mengalahkan keriuhan mulutnya yang sedang mengunyah emping.

"Lagian lo baca profil doi sampe abis nggak sih? Kenapa yang lo inget-inget cuma proses cerainya doang? Dia anak Menkes, Mbak!!! Anak Menkeessss!!! Udah gue stabiloin kuninggg!!! Astaga!!!"

"Sorry ... Jes!"

Cantika meringis kuda. Merasa setengah bersalah lantaran ucapannya memakan korban lain. Setengahnya lagi, Cantika puas. Berhasil menyelamatkan sisa ego sebagai mantan perawan tua yang belum memiliki pasangan, di depan si Mulut Pedas Berambut Gondrong. Lagipula, rasanya otot-ototnya sudah lama tidak diolahragakan menaiki bukit menuruni lembah. Beruntung sekali, Bos kesayangan Selamat Pagi Dunia menghadiahkan jalan-jalan gratis untuknya.

"Besok pagi kita berangkat. Shandy mau jemput gue pakai mobil kantor. Nah ini gue nanya dulu sama lo, Mbak. Biasanya kan lo naik mobil sendiri. Tapi ini bukan Bandung. Atau mau pesawat? Masalahnya, kita harus mampir Pekalongan dulu."

"Nggak usah nanya kali, Jes, kalau itinerary lo kayak begitu. Gue ikut kalian."

-----------

Di sore gerimis, Pahlevi melihat seorang wanita yang tadi pagi sukses mengumbar aib permasalahan rumah tangganya di depan media, sedang terbengong di atas kursi kayu Coffee Cafe. Menatap tak menentu puluhan pegawai bermantel keluar dari basement mengendarai motor. Ini masuk jam pulang kerja.

Pahlevi terbahak satu detik. Ia sendiri tak percaya dengan yang ia pandang.

Hidup pria kesepian luntang-lantung yang selama ini sepi-sepi saja, kembali berdetak. Kesehariannya sunyi senyap. Apartemen yang dalam 9 tahun ia tempati bersama istri, telah ditinggalkan oleh sang mantan belahan hati demi mengejar sesuatu yang Athar Pahlevi tak bisa berikan.

Lantas beberapa jam lalu, ada seorang perempuan yang berhasil menyalakan denyut kekhawatiran di dada.  

Apa yang telah terucap takkan bisa ditarik kembali. Harusnya Cantika berhati-hati dalam berkata-kata. Imbas perbuatannya, tak hanya membuka luka. Namun, juga berhasil menghabiskan waktu Pahlevi seharian ini untuk mengklarifikasi pada kedua belah pihak keluarga besar yang tidak sengaja menonton berita pagi. 

Boom!

Bom waktu yang Pahlevi sembunyikan rapat-rapat sekian tahun dari keluarga, meledak saat itu juga. 

"Gue kira orang cantik sama pinter nggak bakal doyan bengong."

Cantika tersentak. Ia menoleh ke arah sumber suara.

"Hei, Athar." 

Cantika tersenyum seolah tak ada yang terjadi di antara mereka berdua. Lesung di kedua pipi terbentuk amat ayu.

"Pahlevi, Kak."

Cantika terbahak.

"Apa bedanya sih?"

"Belum waktunya Kak Cantik tahu apa bedanya," senyum jahil si pria yang tanpa izin seenaknya menggeser kursi untuk duduk di sebelah Cantika. Turut mengamati kesibukan orang-orang dari dinding kaca sayap kanan ground floor ATV. Satu cup Boba kloter ketiga yang masih penuh, menghias meja kosong di depan si wanita.

Cantika asal mengangguk. Siapapun namanya, tak penting juga. Ia hanya perlu meminta maaf agar obrolan menusuk tadi pagi dilupakan dan tak perlu diperpanjang lagi.

"Kalau gitu, panggil gue Kak Tika aja."

Cantika merasa aneh sejak sambungan pertamanya bersama Pahlevi kala itu. Bisa-bisanya si Pria Gondrong memanggilnya "Kak Cantik." Sebutan sayang yang sahabat dan keluarga dekat saja, yang mendapat akses menggunakannya. Termasuk, 10 orang daftar nama mantan pacar sejak ia berstatus remaja SMA.

"Anyway, sorry tadi gue keceplosan. Abisan Jessi ngasih profil lo lengkap banget. Sampai segala bahan acara gosip dicantumin."

Pahlevi terbahak.

Seringan ini mereka saling meminta maaf dan memaafkan seolah hal itu bukan masalah besar. Tidak besar bagi Cantika yang mendapat tiket liputan keliling kota. Namun amat berpengaruh bagi Pahlevi yang harus berlama-lama di gedung ATV demi alasannya yang malas pulang ke Bandung untuk disidang.

"No problemo. Denger-denger juga, ada yang langsung dapet SP ya?"

"Bukan SP sih. Tepatnya, gue dilempar ke Jogja, sambil mampir-mampir Pantura. Cari berita bagus yang bisa naikin rating selain headline." Cantika merentangkan kedua tangan ke udara sembari menarik punggung ke belakang diikuti sahutan bunyi sendi.  Seolah otot tulangnya telah lama tak mendapat pelatihan khusus. Pahlevi antara bengong dan takjub. Mantan Puteri Indonesia bisa juga ya melakukan hal-hal yang tidak mengandung unsur elegan seperti ini? "Lumayan lah. Daripada di sini gue dikejar bocah-bocah mulu."

"Bocah? Ponakan-ponakan lo maksudnya?"

Gelak miris tumpah dari bibir Cantika. Haruskah ia mengartikan kalimat tersiratnya barusan?

"Cowok yang umurnya lebih muda dari gue, bukannya juga bocah kan?"

Pahlevi mengerti. Ia menarik sudut bibirnya. Pria itu baru sadar bahwa terlewat terlalu lama, dirinya curhat dengan lawan yang tak pernah bisa memberi solusi. Rudi, sahabatnya pun, sulit memproses informasi terkait persoalan merah jambu. Apalagi, membantunya.

"Bocah juga dong gue?"

"Nah bener."

Tanpa sadar, suasana dingin seolah berubah hangat. Tak seperti sekarang, petir dan guntur menyambar di luar. 

"Lihatin apa sih? Nggak takut petir?"

"Orang," gumam Cantika tanpa menoleh pada Pahlevi. "Suka kepikiran nggak sih kalo kita ada di posisi mereka?"

Dan, seolah waktu juga turut berjalan lebih cepat dari biasanya antara dua hati yang sedang menyimpan luka. 

Entah karena hujan, boba, atau teman baru?

------------
------------

🤗🤗🤗
Selamat menikmati. Jangan lupa absen di komentar ..

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaWhere stories live. Discover now