28. Ketakutan yang Nyata

3.8K 930 78
                                    

Lagu romantis mengalun di ruangan berkapasitas 2000 orang. Athar Pahlevi bersama teman-teman squad band lamanya waktu berkuliah di FK UNI turut memberi sumbangsih lagu. 

Kuat sekali badan besar itu. 

Dari meja bulat area terbatas keluarga, Cantika mengedar pandang menikmati suasana. Padahal, sudut mata itu tertuju satu titik. Pada pemain drum di atas panggung yang sesekali mengernyit menahan nyeri di ulu hati. 

"Setelah ini, kamu yang nikah ya, Tik? Mama tunggu. Rais udah rencana mau datang ke rumah untuk lamar kamu."

Cantika tidak kaget oleh bisikan Mama Hayati yang duduk satu meja. Saat pandangannya tertuju ke barisan para tamu VIP, Rais tersenyum manis di sana. Cantika bergidik ngeri. Makin lama perasaannya pada Rais makin tertimbun oleh kekesalan dan rasa benci. Kilasan malam durjana seakan terputar otomatis bak film dokumenter di kepala Cantika jika memandang Rais.

Pria tampan, kaya, latar lagu romantis, restu orang tua dan cinta lama yang coba dipertahankan. Rasa-rasanya, menikah tak cukup berbekal modal itu saja.

"Gimana kalau Cantika nggak bisa sebahagia Rara, Ma?"

"Bisa. Mama yakin bisa. Jangan takut ya?"

"Iya ... Cantika ... takut."

-----------

Zona nyaman yang konon disebut-sebut menjadi penyebab Cantika tidak sanggup berpaling dari Rais, kian dekat. 

Besok adalah hari lamaran Rais untuk Cantika. Tepat dua minggu setelah adik Cantika menikah. 

Pahlevi kelimpungan. Berita yang ia dapat mendadak dari Bu Wulan menghancurkan hati hingga berkeping. Otaknya berpikir keras untuk mencegah semua terjadi. 

Pahlevi belum punya keberanian berdiri di depan Profesor Doktor Dokter Bedah, mantan dosennya kala itu, tanpa mengantongi surat cerai dari pengadilan. Palu hakim belum diketuk. 

"Bunda Tika di dalam, Mas, kalau mau bertemu?"

"Ada di sini? Mobilnya?"

Sungguh keberuntungan yang Allah beri untuknya. Pasalnya, sejak datang, Pahlevi tidak melihat penampakan mobil Cantika di halaman. Suasana panti juga sedang sepi.

"Bunda tadi diantar Bunda Prita bentar. Beliau masih ada praktek, nanti ke sini lagi."

Pahlevi masuk. Tiga tempat dimana Rais— melalui tangan dan mata Mina— tidak bisa berkutik mengekang Cantika. Di rumah pribadi Cantika, rumah Prita, dan Sayang Bunda.

Suasana lengang. Hanya dihuni Bunda Wulan, Cantika dan beberapa anak-anak terbesar Cantika yang tidak ikut tur amal yang diadakan oleh salah seorang donatur.

Rumah khas Belanda zaman dulu masih berdiri kokoh di beberapa sisi. Sisa ruang lainnya telah diganti dengan dinding putih yang lebih baru. 

Pahlevi mengikuti langkah Bu Wulan hingga ke dapur. Di sana, Cantika sedang sibuk menyikat ubin kamar mandi dapur dalam keadaan setengah basah kuyup. Baju panjangnya basah di ujung. Juga wajah ayu itu. Entah basah oleh cipratan selang atau justru air mata sendiri.

"Hei, ngapain?"

"Lo?" Cantika tak menyangka Pahlevi akan tetap mendatanginya di detik-detik ia tak punya pilihan. Ia memalingkan wajah ke Bunda Wulan. "Bu Wulan, saya kan sudah bilang nggak terima tamu."

"Maaf. Tapi saya rasa Bunda Tika butuh seseorang yang bisa memberi nasehat, kalau nasehat saya sama Bunda Prita tidak berhasil menghentikan kebiasaan Bunda yang seperti ini. Jujur, saya sedih." Bu Wulan memungut satu set karbol dan pembersih lantai yang telah terpakai setengahnya. "Saya tinggal sebentar."

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora