38. Kolam Plastik Anak-anak

3.9K 903 84
                                    

Melarikan diri bukan penyelesaian perkara terbaik. Benarkah? Karena Cantika pikir ini adalah jalan terbaik dalam 5 detik ia memutuskan untuk masa depannya di pintu belakang Parahyangan Menu.

Rais hampir membanting ponselnya di ruang tunggu keberangkatan bandara. Menerima kabar dari Tami dan Pak Dirga jika nyonya mereka telah kabur. Keberadaannya sulit diketahui. Alat pelacak yang Rais pasangkan di ponsel Cantika tidak berguna lagi. Sesuai dugaan Prita. Pria pengagum Cantika kali ini, keterlaluan posesifnya.

Prita telah mengendus keanehan sahabatnya sejak ia sulit dihubungi untuk mengurus kebutuhan panti seminggu belakangan. Alasannya macam-macam. Terkadang, terlewat tidak logis dan bukan khas seorang Cantika.

Wanita yang aslinya banyak bicara itu, juga meminimkan dan melirihkan kalimat balasannya, setiap orang-orang menelepon. Hingga mereka menanyai Prita bagaimana kabar Cantika belakangan. Bagaimana ia bisa menjawab? Mau berkunjung saja, Cantika terus melarang.

Prita meminta tolong secara khusus pada Pahlevi. Pria yang belakangan ia temui di Sayang Bunda. Dokter Forensik yang sepertinya perlu dicurigai, sedang menaruh hati pada sahabatnya. Dia tulus membantu keperluan anak-anak. Jarang ada lelaki mau berbaur bersama ke Sayang Bunda. Pertama, Prof Sudjatmiko, lalu suaminya sendiri, dan sekarang Sayang Bunda kedapatan memiliki seorang satria baru. Rais bahkan enggan mengunjungi. Hanya mungkin, uang Rais cukup mewakili kehadirannya.

Nomor 1: Udah sampai? Ini ponselku. Levi. Itu yang kamu pakai juga sih.
Nomor 2: Belum. Gue ke Depok.
Nomor 1: Kenapa?
Nomor 2: Belum siap ketemu Papa.
Nomor 1: Pulang ke BSD! Masalahmu nggak akan selesai dengan menghindar dan diam terus-terusan.
Nomor 2: Papa lebih menyeramkan dari yang lo tahu.
Nomor 2: Jangan mengulangi kesalahan yang sama seperti aku, Tik. Pulang BSD ya?

Sesuatu yang halal tapi paling dibenci Allah adalah perceraian.

Satu frasa mengerikan yang terus Cantika pikirkan sejak kejadian di lift waktu itu.

Sebanyak apapun sujud yang ia lakukan, satu poin itu tidak pernah menghilang dari banyaknya opsi tentang akan dibawa kemana rumah tangga mereka nanti.

Cantika di ambang batas kebingungan.

1. Bertahan, mengusahakan keajaiban datang melalui doa dan kesabarannya.
2. Bercerai, menyelamatkan diri dari kesakitan jiwa raga yang lebih lama lagi.
3. Berdiam diri untuk batas waktu yang tidak dapat ditentukan, hingga semua mendingin dan kembali seperti sediakala secara sendirinya.

Rasa-rasanya, pilihan nomor 3 lah yang paling dia hindari untuk saat ini. Cantika sudah mencoba opsi tersebut selama beberapa minggu. Nihil.

Namun fakta yang terjadi, lagi-lagi ia lari dari poin pertama dan kedua. Karena sekarang, Cantika mencari tempat persembunyian untuk mendinginkan kepalanya. Semoga saja, setelahnya, dia berani mengambil keputusan. Seperti yang sudah-sudah. Seperti yang selalu ia sarankan pada adik-adiknya.

------

"Jadi, si Bocah Tengil itu yang lagi naksirin lo? Duhhh, gue baru tahu lo suka brondong juga, Tik? Mau dikemanain suami?"

Cantika memercik air ke muka saudara kembarnya dari kolam yang tadi para ponakan gunakan untuk main air tipis-tipis, sebelum berangkat ke sekolah. Perempuan itu sedang membersihkan bekas-bekas sabun agar tidak licin dan menempel di bahan plastik. Batinnya, lumayan. Rumah ini, hampir tiap 15 menit setelah dibereskan, akan berantakan kembali. Apalagi, jika anak-anak sedang libur. Cantika bisa meluapkan bakat terpendamnya semaksimal mungkin di rumah Gamma. Mentari dan para ART juga menyambut hangat uluran tangan Cantika.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaWhere stories live. Discover now