13. Departemen Forensik

4.8K 960 21
                                    

Cantika mengekor Rais hingga tiba di Jakarta. Bukan karena tuntutan jurnalistik yang harus ia penuhi dari Bos Ilyasa. Melainkan, selaku mantan orang terdekat Maharaja Rais.

Cantika merasa tidak enak. Cantika merasa perlu melakukannya. 

Rais mengunci mulut selama perjalanan udara.

Tak bisa berkata-kata. Sekelebat, bayangan Bapak Satya muncul. Baru saja memberi restu Rais untuk terbang ke Jogjakarta usai kesepakatan kedua pewaris hotel bintang lima ini diketuk palu, lalu berita itu hadir. Menggerogoti kepercayaan diri Rais yang sedang menyusul belahan hati. Setelah ini, pria berambut cepak itulah yang akan mengendalikan semuanya. Pun memikul tanggung jawab ribuan orang yang tidak main-main di bawah naungan Maharaja Hotel yang bersinar.

Cantika turut bungkam. Ia tak akan menanyai apakah keadaan Rais baik-baik saja. Nyatanya, pria yang sedang berdiri bersandar dinding di sampingnya, memang sedang tidak baik-baik saja. Cantika yakin, kedua tangan yang bersembunyi di balik saku celana itu, sedang mengepal berkeringat dingin.

Empat polisi melakukan penjagaan di Instalasi Forensik Rumah Sakit Samanhudi. Entah siapa yang mereka jaga. Korban, keluarga korban, atau sekadar menunggu hasil? Pemandangan tak asing jika ada orang berpengaruh tewas dalam keadaan tak wajar.

Puluhan wartawan juga berkerumun di luar. Terlihat dari pintu kaca yang menghalangi mereka masuk. Beberapa masih mengadakan siaran live mengabarkan keterangan di hadapan kamera. Beberapa lagi, tengah sibuk bercengkrama bersama rekan wartawan lain. Menunggu info terbaru yang bisa mereka laporkan.

"Hai."

Merasa kenal, Cantika menyapa dokter berbaju dinas hitam lengkap dengan kostum otopsinya. Termasuk sandal jepit kesayangan. 

Pahlevi hanya mengangguk cuek ketika akan memasuki Ruang Otopsi. Tanpa kata. Dalam hati, Cantika ingin mengumpati. Kepala kecilnya geleng-geleng tak percaya. Selama ini, ratusan pria antusias setiap kali mendapat sapaan hangatnya. Sedangkan Bocah Gondrong yang rambutnya tersembunyi sebagian di dalam headcap ini, seolah menganggapnya butiran debu.

Disapa, salah. Tidak disapa, Cantika takut si Bocah akan mengamuk. Menganggapnya selain orang yang ingkar janji, juga perempuan tak ramah.

Pahlevi memilih memalingkan pandangan pada Rais yang sedang tertunduk sendu. Tangan yang masih bebas dari sarung tangan itu, menepuk bahu si pria yang sedang berduka.

"Saya turut berdukacita."

Rais mengangguk. Mempercayakan proses otopsi Bapak Satya Maharaja pada Athar Pahlevi yang kemudian menutup ruang keramatnya. 

----------------

"Mas Rais. Mobil sudah siap." Reksa, sekretaris Rais mempersilakan. 

Otopsi telah selesai. Jenazah Bapak Satya akan dibawa ke rumah, untuk selanjutnya dikebumikan di pemakaman elit di Karawang. Iring-iringan mobil keluarga telah dipersiapkan. Dua sekretaris utama amat sempurna mengurus segalanya.

Rais mengiyakan.

Baru saja menempuh 5 langkah, Rais malah berbalik. Punggung Rais terasa kosong. Ia tak mendapati Cantika mengikutinya di belakang. Tangan itu mengulurkan agar jemari Cantika meraihnya.

"Ayo. Bareng mobilku," ajaknya.

Cantika menggeleng.

"Gue mau ketemu Papa dulu sebentar aja. Gue nyusul. Nggak lama kok." Cantika beralasan.

"Aku tungguin."

"Nggak perlu. 15 menit itu nggak boleh lo sia-siakan, Is. Ikut Reksa pulang ya?"

Rais tak lagi memiliki tenaga untuk menolak. Ia menurut. Membawa tangan hampanya keluar dari ruang tunggu keluarga, tanpa mantan kekasih hati. Mengiringi peristirahatan terakhir sang Ayah ... yang di detik terakhir pertemuan, merestui keinginan kedua insan.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaWhere stories live. Discover now