31. Menjadi Nyonya

4.1K 857 30
                                    

Jika kata ijab telah dilantunkan, seluruh penghuni langit dan bumi mengamini.

Cantika bersujud dalam sholat Subuhnya di kamar. Pria yang ia gadang-gadang akan memimpin rumah tangga masih terlelap tidur. Lelah menggelayut hingga panggilan Cantika padanya tak didengar.

Malam kedua, ketiga dan seterusnya, Cantika berpasrah menjalani keseharian sebagai istri Maharaja Rais. Menjadi teman tidur. Mendampingi di setiap temu klien yang mengharuskan memperkenalkan pasangan masing-masing, pun menemani kemana sang suami mau dirinya hadir.

Hari-hari indah ia coba sesap dalam-dalam, jika memang ini adalah kenyataan yang harus dijalani hingga ujung usia. Cantika tak mau memikirkan hal yang paling dibenci oleh Allah.

Ingin merajut dulu keputusan yang telah ia ambil. Barang kali, ujian hidupnya memang begini. Barang kali, bentuk ia meraih cinta sang Maha Cinta adalah melewati jalan ini.

Selesai menunaikan Subuh, Cantika segera menyiapkan satu setel kemeja dan jas di atas meja tengah kamar tidurnya. Membangunkan kembali sang suami sebelum beranjak ke dapur.

"Aku masak ayam goreng mentega. Kamu mau?"

Cantika sebenarnya tidak percaya diri menawari suami yang terbiasa makan menu berbeda 3 kali sehari. Pun dari tangan seorang ahli.

Rais tersenyum lebar menuju meja makan, berlatar langit pagi hari yang keorenan. Hatinya bungah disambut oleh sang istri. Kedua tangan sibuk membenahi dasi di leher.

"Mau dong. Sarapan yang dari bawah sudah kamu cancel?"

"Belum. Nanti 5 menit lagi diantar. Siapa tahu kamu mau pilih."

"Aku pasti pilih masakan istriku." Rais mengambil gagang telepon terdekat dengan meja makan. "Aku cancel ya?"

Cantika mengangguk. Tentu saja Rais harus membahagiakan Cantika. Rais sadar Cantika sedang berusaha menerima pernikahan ini. Mereka memang saling cinta sejak awal. Namun, kata-katanya juga pernah menyakiti Cantika tepat setelah ia memutuskan untuk mendekat kembali saat ikatan itu terlanjur putus. Rasanya, Rais mau sukarela menerima lemparan sepatu sekali lagi jika itu mampu melampiaskan amarah yang sepertinya masih menggantung dari mata lentik itu.

Rais memeluk Cantika dari belakang saat sang istri membereskan meja makan setelah selesai. Dia menghidu wangi sabun aroma bunga.

"Kamu jangan kecapekan. Maaf, kalau aku masih bikin kamu nangis. Aku belum bisa ngajak kamu bulan madu."

Cantika berbalik. Membalas sang suami dengan menautkan lengan di pinggang yang tak sepenuhnya tertampung oleh tangan. Cantika membutuhkan pelukan siapapun. Benar. Cantika ingin menangis. Ia tak kuat menampung kekesalan pada pilihan yang ia ambil ini. Bahkan jika itu adalah dada bidang orang yang membuatnya menimba campur aduk perasaan ini, ia mau.

"Aku mau kita berubah, Is. Aku mau pernikahan ini benar-benar jadi pernikahan."

Rais terkekeh dengan kedua tangan terjalin makin erat memeluk sang istri. Rambut legam wangi itu membuatnya candu untuk mencium puncak kepala.

"Memang kita udah benar-benar nikah, Tik. Bukan bohongan."

Cantika mengangguk-angguk dalam sedu-sedan. Benar. Ini pernikahan sungguhan. Tak ada kebohongan yang harus mereka sembunyikan dari publik satu jagad.

"Boleh nggak, kalau aku mau kamu memimpin aku ibadah kalau Subuh? Aku nggak mau pura-pura lagi di depan Om sama Tante kamu. Kalau mereka memang dicurigai ada salah, kenapa nggak sekalian aja kamu jujur dan bicara sama lawyer kamu? Aku mau punya keluarga kayak Rara. Mereka nggak ada musuh, Is. Hidup mereka nggak pernah tegang. Mereka nggak pernah pura-pura senyum. Maaf juga, aku belum bisa maksimal melayani kamu."

Keinginan Cantika lepas bagai air bah yang sudah tidak tertahan oleh bendungan diri. Ia hanya ingin hidup tenang dalam cinta. Ia mau sama-sama menjalankan pernikahan ini sebagai perwujudan ibadah. Bukan Cantika sepihak saja yang berusaha. Seminggu terlewat, Cantika baru menyadari jika ia melupakan satu hal. Rais masih seperti dulu. Lelaki bebas yang belum mau menunaikan kewajibannya sebagai makhluk Allah. Ia tak pernah menjalankan sholat 5 waktu kecuali di hari Jum'at. Apalagi, menginjakkan kaki di masjid setiap panggilan ibadah berkumandang 5x sehari. Padahal, hotel mereka memiliki mushola luas di lantai 4.

Cantika bersedia melepas pekerjaannya di dunia pemberitaan demi menjadi pendamping Rais. Ia bersedia terkurung di penthouse harga milyaran untuk menyambut sang suami setiap pulang dari kantornya di lantai bawah. Ia sanggup menahan kilasan-kilasan malam menjijikan itu dan menimpanya dengan kenyataan bahwa segalanya telah berada dalam koridor restu sang Pencipta.

Cantika masih menangis setiap Rais menggauli. Seolah, seharusnya tidak begini. Tidak terjadi. Tidak pantas. Tidak ia lakukan. Tidak ada rasa bahagia dan tenang yang ia tangkap selama seminggu terlewat.

"Iya."

Satu kata yang selalu Cantika dengar dari Rais. Semoga saja, iya kali ini benar berubah menjadi kesanggupan yang nyata.

----------

"Aku mau ke mall depan. Belanja."

Rais menggeleng lesu. "Maaf nggak bisa nemenin. Kerjaanku masih banyak."

Cantika menghampiri Rais di kantornya. Pria itu sudah kusut di pukul 4 sore. Entah apa kemelut perusahaan yang sedang terjadi. Satu hal yang membuat Cantika tidak mau menghabiskan fasilitas yang Rais beri untuk foya-foya. Sebisa mungkin, ia menabung jatah belanja dari Rais. Memakai secukupnya untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan mendasar rumah tangga saja. Menjaga kalau-kalau terjadi sengketa harta Rais yang dikaitkan padanya. Cantika tidak mau terlibat sekaligus terlihat menghamburkan uang suami.

Cantika duduk di sofa tamu ruangan Rais untuk meminta izin keluar.

"Ada yang mau titipin?"

"Nggak ada. Kenapa nggak telepon bawah aja? Biar dibeliin?"

Cantika tersenyum. Rais membalas dari meja kerjanya. Sang istri berjalan ke belakang kursi suami dan memijat bahu yang telah lunglai menyangga beban. Cantika tahu pekerjaan Rais adalah pekerjaan amat berat.

"Aku juga mau menghirup udara bebas kali, Is. Nanti lama-lama, aku lupa dunia kalau nggak pernah keluar rumah."

Rais menyandar. Justru menunjuk titik punggung yang paling membuatnya merasakan nyeri agar dipijat lebih kuat.

"Yaudah. Bareng Pak Dirga ya? Bilang resepsionis aja. Mobilnya biar disiapin."

Cantika menghembus nafas panjang. Sebenarnya, ia hanya perlu menyeberang mall. Atau menaiki ojek untuk sekadar memutar arah saja jika sedang tak ingin jalan. Resiko menjadi Nyonya Maharaja. Semua serba ada. Bahkan, seharusnya Cantika hanya perlu menelepon resepsionis maka asisten pribadi akan muncul dari balik pintu untuk mewujudkan segala keinginannya. Cantika sekarang berada dalam singgasana tertinggi impian setiap wanita satu Indonesia yang mengagung-agungkan kehidupan mapan.

"Iya. Aku berangkat ya?"

Cantika menyudahi pijatannya. Rais merasa kehilangan. Tapi, benar. Ia juga tidak mau mengurung istrinya sampai stres di atas. Jika Rais tidak bisa memberikan waktunya untuk menemani, setidaknya Cantika punya waktu-waktunya sendiri, yang bisa dinikmati dengan melakukan apapun yang istrinya itu ingin.

Rais mulai merasa, jika menikahi Cantika adalah keputusan terbaiknya sepanjang hidup di dunia. Mengesampingkan tujuan utama untuk membantu diri sendiri mendapatkan kursi Satya Maharaja.

Ia akan memikirkan baik-baik permintaan istrinya. Apa salahnya membahagiakan Cantika? Sebelum sebuah telepon dari orang kepercayaannya menginterupsi.

"Bapak Levi sama Nyonya Diana sedang ada pertemuan ibu-ibu di restoran bawah, Pak."

---------------

Haloooo.. Pagiiihhh.
Jangan lupa sholat malem. Uhuyyy

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaWhere stories live. Discover now