14. Bocah Gondrong Menyebalkan

4.6K 1K 30
                                    

Cantika tidak habis pikir. Pria itu sama sekali tidak punya sopan-santun. Apa salahnya sih menghargai dirinya sedikit saja sebagai wanita yang lebih tua? Jika tidak bisa mengganggap Cantika sebagai perempuan cantik yang konon katanya pernah berpengaruh dalam hidup Pahlevi, minimal Cantika berharap pria itu menghormati sebagai kakak dari temannya. 

Apakah menunjuk muka seseorang dengan jari, tepat di depan pasang mata junior yang menjadikan Cantika sebagai role model, adalah tindakan terpuji?

Cantika rasa, ini penghinaan. 

Pahlevi justru sebaliknya. Ia tidak pernah menganggap perbuatan barusan layaknya yang Cantika pikir. Ia hanya spontan tersentil. Cantika mengungkit keluarga para pemburu berita yang butuh makan. Sedangkan, mereka seolah tidak mempertimbangkan kepentingan pribadi Pahlevi. Otaknya tengah kusut bak benang lepas dari rolnya. Belum lagi, mulut wartawan yang jika bersatu, terdengar bagai kaset rusak, membuat kepalanya makin runyam. Tidak ada yang bisa ia ajak bertukar cerita. Rudi, sahabat terdekatnya, hanya bisa bergurau memberi penghiburan. Padahal, bukan itu yang Pahlevi butuhkan.

Cantika. 
Bagi Pahlevi, adalah malaikat cantik yang terkadang sadis.
Pahlevi.
Bagi Cantika, adalah penolong bebal yang terkadang juga tajam.

Selalu tidak ada yang sempurna di mata orang lain, sesempurnanya orang itu berusaha tampil sempurna. Selalu ada yang kurang. Selalu ada yang membuat hati berdebar. Selalu ada yang bikin kesal. Perasaan ingin mencabik-cabik, namun juga mengusap sayang. Apalagi, jika mereka pernah punya sejarah bersama ... meski hanya sepintas lewat ... yang Cantika bahkan lupa kapan.

------------

"Dapet berita apa?"

Papa Miko yang bergelar profesor di bidang bedah onkologi, membuka kacamata bacanya. Menyandarkan tulang belakang yang mulai renta ke kursi putar. Seharusnya, beliau sudah pensiun. Tidak lagi duduk manis di Departemen Bedah dan menyelesaikan permasalahan pasien. Namun, itu bukan khas profesor bernama lengkap Sudjatmiko ini. Khas seorang Prof Miko adalah menjadi berguna bagi orang lain hingga akhir hayat. Beliau akan setia setiap hari datang ke Rumah Sakit Samanhudi untuk mengambil peran dirinya.

Cantika menggeleng lesu. Tubuhnya lunglai mendarat di sofa tamu Ruang Kepala Departemen Bedah Rumah Sakit Samanhudi.

"Ada curiga tuduhan pembunuhan yang pemilik Maharaja Hotel itu, Pa. Tadi dari Forensik. Dokternya songong banget. Baru kayaknya ya? Dulu Cantika sering ke sini, nggak ada." Cantika memiringkan rebahnya menghadap Papa Miko di meja kerja dari bahan kayu dicat hitam.

"Terus, kok ke sini?"

"Iya. Biar Jessi yang ngikutin jenazahnya. Cantika buntu." Mendapat ide untuk menggunakan bantuan orang dalam, Cantika makin bersemangat. "Oiya, Papa kenal Dokter Athar? Atau Dokter Ikhlas, pimpinan Forensiknya? Bisa bantu hubungin Cantika untuk wawancara Dokter Ikhlas nggak, Pa?"

"Nggak bisa dong. Umur kamu berapa sih? Masih minta tolong Papa? Minta tolong suami kamu aja," goda Papa Miko yang selalu menyelipkan urusan jodoh di sela persoalan apapun yang berkaitan dengan anak sulungnya.

"Kamu kenal anak Satya Maharaja itu, kan? Tadi Papa lihat di TV."

Cantika melengos. Mengalihkan pandangan kemana saja sebelum Papa Miko menangkap pias dari wajahnya. Beruntung, ada kue coklat kering bertabur choco chips di toples atas meja. 

Ekspresi lezat nan antusias berlebihan terbit dari wajah ayunya. Menutupi kegundahan hati memikirkan alasan apalagi, yang bisa ia lontarkan untuk membalas permintaan sang Papa.

"Ini enak banget. Beneran deh. Mama beli dimana?"

"Nggak usah mengalihkan pembicaraan."

Cantika menghembuskan nafas panjang. Ia menyerah. Ia akan bertahan mendengar harapan, nasehat juga doa orang tua yang tak lekang oleh waktu.

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant