12. Pria Berkacamata di Pantai

5.9K 1K 69
                                    

"Maaf, Mas. Besok ada pertemuan besar sama Hilton Bali. Mas Rais nggak seharusnya di sini sekarang."

Sebelum Subuh, untuk ke sekian kalinya, Maharaja Rais tertangkap lagi. Ketika dirinya telah menginjakkan kaki di Soekarno Hatta Airport demi menyusul pujaan hati ke Jogja. Baru saja ia mendapat kabar dari orang suruhannya, jika Cantika sedang dekat seorang pria. Sekaligus, sekejap saja, ingin mengobat rindu. Mencoba memantapkan hati Cantika untuk menerimanya kembali. 

"Gue bisa balik jam 9. Gue pastikan jam 12 udah di sini lagi untuk terbang sama-sama ke Bali!"

"Maaf, Mas. Bapak suruhnya harus menyeret Mas Rais kalau masih nekat." Dua pria bertubuh besar mengenakan setelan serba hitam itu menunduk memberi jalan untuk Rais keluar dari bandara. "Mari Mas, saya antar ke rumah."

Terkekang. 

Rahang-rahang Rais berubah tegang. Sudah ia tak bisa tidur seminggu terakhir, kini apapun yang ia lakukan selalu terendus peliharaan pemburu sang Papa. Ransel hitam yang sejak tadi bertengger di punggung, ia lempar kasar pada antek-antek Bapak Satya ini. Rais menggeram menahan amarah meninggalkan bandara. 

Tak bisa berkutik.

Rais sayang keluarga. Rais sayang Papanya yang pemaksa. Rais siap memikul tanggung jawab besar. Tapi ia juga sayang Cantika Aasiya Sudjatmiko dan tak ingin melepasnya.

Ia terombang-ambing antara dua pilihan menyesakkan. Ternyata, tak hanya Athar Pahlevi saja yang kepalanya hampir pecah. Namun, Rais juga.

Ada apa dengan semua pria yang dekat dengan Cantika? Mengapa hidup mereka penuh masalah? Apa mereka tidak tahu, jika Cantika sendiri juga bermasalah?

-------------

Suara bantingan pintu ornamen ukir membahana lantai 25 Maharaja Hotel. Ruang Direktur Utama, singgasana, tempat Bapak Satya Maharaja memantau perkembangan Maharaja Hotel dan 15 anak cabangnya. 

Rais melempar draft rancangan marketing tentang rencana event yang akan diadakan satu tahun mendatang di Maharaja Bali, tepat di atas meja Satya Maharaja yang Terhormat. Suaranya begitu menghentak. Beruntung, kesehatan jantung Papanya masih dalam keadaan normal. 

"Maksud Papa apa? Kerjaan Rais udah selesai!"

"Besok kamu yang wakili Papa. Papa nggak enak badan."

"Sial! Kenapa semua-muanya Rais terus, Rais terusss?!"

"Ya, karena kamu anak Papa satu-satunya," jawab Pak Satya tenang. Membubuhkan tanda tangan satu per satu pada map yang menumpuk di meja.

"Apa sih artinya keturunan? Papa bisa sewa expert! Duduk santai di rumah!"

Pak Satya melepas kacamata yang bertengger rendah di hidung. Pasang kantung mata itu begitu hitam. Kerut wajah tampak di sana-sini. Benar kata Rais, seharusnya, beliau sudah menikmati masa tua bersama para cucu di rumah. Bukannya hingga hari menjelang pagi, Pak Satya masih terpaku di kursi putar kerajaannya yang melelahkan namun tak bisa dilepas ini.

"Penting! Mau dikemanain jerih payah Eyangmu, Papa, kamu, mempertahankan Maharaja ini kalau bukan untuk diturunkan ke anak cucu? Bukannya malah dinikmati orang lain."

(END) Senyummu Tampak Tak Baik-Baik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang